Di New York, Amerika Serikat, perselingkuhan merupakan sebuah tindakan terlarang dan dianggap pidana dan pelakunya bisa terancam penjara tiga bulan.
Namun, setelah lebih dari 100 tahun aturan ini berlaku, sebentar lagi kemungkinan selingkuh akan menjadi hal legal di New York.
Hal ini lantaran adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang diolah melalui Legislatur New York.
Tradisi tersebut awalnya diberlakukan untuk mengurangi jumlah perceraian pada masa di mana perceraian hanya bisa dicapai jika pasangan suami-istri berselingkuh.
Sebagai pelanggaran ringan di New York sejak tahun 1907, perselingkuhan didefinisikan dalam hukum negara bagian sebagai ketika seseorang “melakukan hubungan seksual dengan orang lain ketika dia masih memiliki pasangan yang masih hidup, atau ketika orang lain tersebut masih memiliki pasangan yang masih hidup.”
Hanya beberapa minggu setelah hukum ini diberlakukan, seorang pria yang sudah menikah dan seorang perempuan berusia 25 tahun menjadi orang pertama yang ditangkap di bawah hukum baru tersebut setelah istri dari pria tersebut mengajukan gugatan cerai, menurut sebuah artikel dari New York Times yang dilaporkan oleh Associated Press, Sabtu (23/3/2024).
Sejak tahun 1972, hanya sekitar satu lusin orang yang pernah didakwa di bawah hukum New York ini, dan dari mereka, hanya lima kasus yang berhasil memperoleh vonis, menurut Anggota Majelis Charles Lavine, yang menjadi sponsor RUU untuk mencabut larangan tersebut.
Alasan Aturan Dicabut
Lavine menyatakan sudah waktunya untuk mencabut hukum ini karena jarang diterapkan dan karena jaksa tidak seharusnya mencampuri urusan pribadi antara orang dewasa.
“Secara logika, larangan ini tidak masuk akal dan kita telah berkembang jauh sejak hubungan intim antara orang dewasa yang setuju dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral,” katanya. “Ini adalah lelucon belaka. Hukum ini hanyalah ekspresi dari kemarahan moral seseorang.”
Katharine B. Silbaugh, seorang profesor hukum di Universitas Boston yang merupakan salah satu penulis buku Panduan Hukum Seks di Amerika, menjelaskan larangan perselingkuhan adalah tindakan hukuman yang ditujukan terutama kepada perempuan, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perselingkuhan yang bisa mempertanyakan keaslian keturunan.
“Jika kita ingin menyederhanakan, ini adalah tentang dominasi laki-laki,” kata Silbaugh.
RUU New York untuk mencabut larangan perselingkuhan ini sudah melewati persetujuan dari Majelis dan diperkirakan akan segera melewati proses yang sama di Senat sebelum dapat ditandatangani oleh gubernur.
Hukum hampir dihapus dari daftar peraturan tahun 1960-an setelah sebuah komisi negara yang bertugas untuk memperbarui seluruh hukum pidana menemukan larangan ini tidak mungkin diterapkan secara efektif.
Awalnya, perubahan dari komisi tersebut diterima oleh Majelis, tetapi kemudian larangan perselingkuhan dipulihkan setelah seorang politikus mengemukakan keberatannya bahwa penghapusan itu bisa dianggap sebagai dukungan negara terhadap perselingkuhan, menurut sebuah artikel dari New York Times tahun 1965.
Artikel Times lainnya dari periode yang sama juga menggambarkan adanya penolakan dari setidaknya satu kelompok agama yang berargumen perselingkuhan merusak institusi pernikahan dan kebaikan bersama. Namun, perubahan dalam kode pidana akhirnya tetap disetujui, dengan larangan perselingkuhan tetap utuh.
Kebanyakan negara bagian yang masih memiliki larangan perselingkuhan mengklasifikasikannya sebagai pelanggaran ringan, tetapi ada juga negara bagian seperti Oklahoma, Wisconsin, dan Michigan yang menganggapnya sebagai pelanggaran pidana.
Beberapa negara bagian, termasuk Colorado dan New Hampshire, berusaha mencabut hukum perselingkuhan mereka, dengan menggunakan argumen yang serupa dengan yang disampaikan oleh Anggota Majelis Lavine.
Terdapat juga pertanyaan apakah larangan perselingkuhan ini sesuai dengan konstitusi.
Keputusan Mahkamah Agung tahun 2003 yang menghapuskan hukum sodomi telah menimbulkan keraguan apakah hukum perselingkuhan juga akan tetap berlaku, terutama karena dalam pendapat minoritasnya, Hakim Antonin Scalia menyatakan keputusan Mahkamah Agung tersebut juga mempertanyakan sahnya larangan perselingkuhan.
Namun, dalam keputusan Mahkamah Agung tahun 2022 yang menghilangkan perlindungan terhadap aborsi, Hakim Clarence Thomas menulis Mahkamah Agung “harus mempertimbangkan kembali” keputusan hukum sodomi, serta keputusan hukum yang melegalkan pernikahan sesama jenis, dalam cahaya interpretasi yang lebih baru mengenai perlindungan konstitusional seputar kebebasan dan privasi.
Namun demikian, pandangan Mahkamah Agung AS mengenai hukum perselingkuhan ini mungkin hanyalah sebuah hipotesis yang lebih bersifat akademis, mengingat jarangnya kasus-kasus perselingkuhan yang dihadirkan ke pengadilan. (*)