BANDA ACEH – Komisi XI DPR menyoroti utang pemerintah yang mencapai Rp 7.014 triliun atau 40,17 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada Februari 2022.
Apalagi, sumber utang tersebut satu di antaranya terbesar dari China sebagaimana nasib negara Srilanka yang gagal bayar utang luar negerinya dari negeri Tirai Bambu itu.
Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati mengatakan, posisi utang Indonesia apabila dilihat secara tahunan, naik 10,3 persen dari posisi Februari 2021 sebesar Rp 6.361,02 triliun.
“Artinya, dalam dua bulan di tahun 2022, utang pemerintah sudah mencapai Rp103 triliun. Di mana tahun 2021 utang pemerintah tercatat Rp 6.911 triliun atau naik Rp 826 triliun dari tahun sebelumnya,” kata Anis saat dihubungi, Sabtu (16/4/2022).
Menurut Anis, utang luar negeri Srilanka mencapai Rp 731 triliun dan ini belum termasuk pembayaran utang domestik yang diterbitkan pemerintah.
Kalau dilihat sumbernya, ujar Anis, salah satu negara yang meminjamkan uang ke Srilanka dan kreditur terbesar adalah China.
“Ketergantungan impor, naiknya harga komoditas global dan kecerobohan utang untuk infrastruktur yang tidak menguntungkan menjadi beberapa hal yang memicu semakin parahnya kondisi krisis di Srilanka,” papar Anis.
“Tentu ini menjadi remainder buat pemerintahan kita bahwa kondisi akan memburuk apabila utang tidak melalui perencanaan dan pengelolaan yang baik,” sambung Anis.
Anis menyebut, berkaca dari kasus Srilanka yang dilanda krisis berkepanjangan, memicu protes massal dari rakyatnya akibat kekurangan pangan, pengangguran, melonjaknya harga, bahkan sampai terjadi pemadaman listrik.
Kemudian, mengutip data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) periode Februari 2022, China adalah pemberi utang terbesar keempat buat Indonesia, hanya kalah dari Singapura, Amerika Serikat (AS), dan Jepang.
Lalu, adanya lonjakan harga di beberapa sektor hingga munculnya demo terkait naiknya harga bahan pangan, maka diharapkan Indonesia tidak seperti Srilanka.
“Tentu kita sangat berharap bahwa Indonesia tidak akan pernah mengalami gagal bayar sebagaimana terjadi di negara lain. Artinya, bahwa harus ada komitmen besar dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat,” ujarnya.
“Koordinasi Bank Indonesia dan pemerintah harus diperkuat dalam memantau perkembangan ULN, dan harus didukung prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya, serta meminimalisir risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian,” papar politikus PKS itu.