Keberpihakan pemerintah kembali dipertanyakan publik, khususnya terhadap kebijakan terbaru Presiden Joko Widodo yang melarang ekspor minyak minyak goreng dan crude palm oil (CPO).
Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Muhammad Said Didu bahkan menilai kebijakan tersebut hanya sebatas pencitraan.
“Saya yakin kebijakan larangan ekspor CPO dan minyak goreng tidak akan sulit dilaksanakan karena dampak negatifnya sangat banyak. Ini hanya program pencitraan,” ujar Said Didu melalui akun Twitternya, Sabtu (23/4).
Paling tidak, Said Didu mencatat lima dampak negatif yang bakal dilahirkan kebijakan larangan ekspor CPO dan migor oleh Jokowi, dan itu dirasakan baik oleh negara sendiri maupun hingga masyarakat petani.
Said Didu merinci, dampak pertama yakni pendapatan negara dari ekspor sawit turun sekitar 50 hingga 60 persen. Kedua, pabrik CPO dan migor akan mengurangi produksi sekitar 70 persen.
“Pembelian TBS (tandan buah segar) berkurang sekitar 60-70 persen hingga harga TBS petani turun sekitar 50 persen. Serta harga CPO atau turunannya naik dan dinikmati negara lain,” imbuhnya memaparkan dampak ketiga dan keempat dari kebijakan larangan ekspor CPO dan migor.
Bagi Said Didu, kebijakan larangan ekspor CPO dan migor bagaikan orang mengobati ketombe dengan cara mengamputasi kaki. Alih-alih untuk menurunkan harga minyak goreng, malah justru melahirkan dampak beruntun.
Oleh karena itu, Said Didu mendorong agar harga migor diturunkan dengan cara mudah, yakni menggunakan dana pengutan ekspor CPO untuk subsidi migor seperti subsidi biosolar.
“Kalau pemerintah tidak mau menurunkan harga minyak goreng dengan kebijakan subsidi, maka demi keadilan seharusnya menghentikan subsidi bio solar yang sudah habiskan uang rakyat sekitar Rp 120 triliun sejak 2016,” papar Said Didu.
“Subsidi ini hanya dinikmati oleh orang kaya dan perusahaan konglomerat,” tandasnya.