BANDA ACEH – Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan Malaysia menjadi penguasa 84 persen ekspor crude palm oil (CPO) pasca pemberlakuan larangan ekspor CPO Indonesia.
Malaysia sebelumnya memiliki porsi sekitar 27 persen dari total produksi CPO dunia atau memiliki kapasitas produksi 20 juta ton per tahun.
“Dengan absennya Indonesia di pasar CPO internasional pasca pelarangan ekspor, akhirnya Malaysia menjadi penguasa 84 persen total ekspor CPO,” katanya seperti dilansir dari CNNIndonesia.com, Minggu (8/5/2022).
Menurutnya ini adalah kesalahan kebijakan yang membuat Malaysia mendapat “durian runtuh” sebanyak dua kali.Pertama, harga CPO pasca pelarangan ekspor naik 9,8 persen dibanding satu bulan yang lalu. “Harga CPO saat ini tercatat 6.400 RM per ton,” lanjutnya.
Kedua, importir sawit khususnya di India, China dan Eropa mencari alternatif sawit ke Malaysia.
Akibatnya, petani dan ekosistem industri CPO di Malaysia kebanjiran kontrak. Dikhawatirkan kontrak berlaku jangka panjang minimum 1 tahun ke depan.
“Ketika pelarangan ekspor CPO dicabut, tidak mudah bagi produsen sawit Indonesia mencari calon buyer karena sudah terikat kontrak dengan Malaysia,”katanya.
Adanya larangan ini membuat devisa ekspor yang hilang hingga US$3 miliar per bulan dari hasil ekspor CPO Indonesia lari ke Malaysia.
Selain itu, ketika larangan ekspor CPO ini dicabut, Indonesia tak serta merta dengan mudah mendapatkan kembali buyer CPO di pasar internasional.
“Iya tidak semua otomatis kembali normal. Apalagi dampak pelarangan ekspor CPO menimbulkan trauma bagi buyer di luar negeri karena ketidakpastian kebijakan di Indonesia cukup tinggi,” katanya.
Sebelumnya, mengutip CNBCIndonesia.com, Data ITS perusahaan surveyor kargo menyebut pada 1-5 Mei ekspor CPO Malaysia melonjak 67 persen dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya. Pasokan yang memadai membuat harga terkoreksi.
Usai pelarangan ekspor CPO oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), pasar ekspor komoditas ini kini dinilai diambil alih oleh negara tetangga, Malaysia. Pasalnya, selama ini Malayasia adalah pesaing Indonesia di pasar ekspor CPO.Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan larangan ekspor ini membuat Malaysia mengambil peran lebih banyak.
“Begitu ada larangan, tentu saja Malaysia yang akan ambil lebih banyak peran karena demand terhadap CPO kan tetap banyak,” kata Faisal.
Menurutnya yang perlu dikhawatirkan adalah kerugian Indonesia dari sisi perdagangan.
Malaysia Kuasai Pasar Sawit Usai Jokowi Terbitkan Larangan Ekspor CPO
“Selain itu yang perlu diwaspadai juga kalau banyak investor yang menarik diri karena ketidakpastian kebijakan CPO di Indonesia, iklim industrinya dikhawatirkan terganggu,” tuturnya.
Sementara itu Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan Malaysia menjadi penguasa 84 persen ekspor crude palm oil (CPO) pascapemberlakuan larangan ekspor CPO Indonesia.
Malaysia sebelumnya memiliki porsi sekitar 27 persen dari total produksi CPO dunia atau memiliki kapasitas produksi 20 juta ton per tahun.
“Dengan absennya Indonesia di pasar CPO internasional pascapelarangan ekspor, akhirnya Malaysia menjadi penguasa 84 persen total ekspor CPO,” kata Bhima.
Ia menilai larangan ekspor CPO Indonesia adalah kesalahan kebijakan yang membuat Malaysia mendapat durian runtuh dua kali.
Pertama, harga CPO pascapelarangan ekspor naik 9,8 persen dibanding satu bulan yang lalu. “Harga CPO saat ini tercatat RM6.400 per ton,” lanjutnya.
Kedua, Malaysia kini jadi tujuan para importir sawit khususnya di India, China dan Eropa.
Akibatnya, petani dan ekosistem industri CPO di Malaysia kebanjiran kontrak. Dikhawatirkan kontrak berlaku jangka panjang minimum 1 tahun ke depan.
“Ketika pelarangan ekspor CPO dicabut, tidak mudah bagi produsen sawit Indonesia mencari calon buyer karena sudah terikat kontrak dengan Malaysia,” katanya.
Larangan ini juga dinilai Bhima membuat devisa ekspor yang hilang hingga US$3 miliar per bulan dari hasil ekspor CPO Indonesia lari ke Malaysia.