Bentuk organisasi oligarki bersifat superbody. Identik kekuasaannya sebagai Tuhannya suatu kepala pemerintahan dan kepala negaranya. Jadi tidak salah jika masyarakat mengecap anggota dewan, kepala daerah atau kepala negara bukan wakil yang memiliki mandat resmi tetapi mereka bekerja dan mengabdi untuk sebagai majikannya sebagai petugas oligarki.
Oligarki adalah ancaman dan merupakan bagian bencana bagi penguatan nilai-nilai demokrasi masyarakat sipil. Bayangkan rencana anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp 95 triliun tidak ada manfaat secara riil untuk masyarakat dalam perspektif penegakan demokrasi dan pencapaian supremasi keterwakilan rakyat dalam permusyawaratan perwakilan yang jurdil.
Legacy oligarki salah satunya melalui pemilu. Menggugat sistem pemilu yang hanya menguntungkan oligarki dan sekutunya. Jadi, pemilu bukan didesain untuk proses transisi demokrasi atau perubahan rezim, tetapi pemilu pada akhirnya hanya sebagai stempel formal kolektif mengamankan kepentingan.
Pascareformasi 1998 berjalan, pemilu di Indonesia menganut kultur multipartai. Pada dasarnya tidak berbeda secara esensi dengan sistem kepartaian terbatas yang berlaku di zaman Orde Baru di mana partai dikunci dan dikendalikan sepenuhnya oleh rezim berkuasa.
Harapan besar euforia reformasi menyangkut modernisasi peradaban masyarakat berdemokrasi secara luas dan bebas. Ternyata secara keseluruhan stakeholder bangsa ini selama reformasi berjalan hampir 20 tahun, tetap saja demokrasi yang diharapkan mengalami stagnasi dan blunder. Tidak ada plafon nasional berkaitan agenda reformasi berkelanjutan.
Kondisi sampai saat ini menjelang Pemilu 2024 yang akan memilih DPR, Presiden serta kepala daerah, ritual demokrasi tersebut dikatakan sebagai bagian aktivitas formal yang mandul, tidak produktif untuk rakyat untuk mengangkat dan mengentaskan nilai-nilai universal berdemokrasi yang pencapaiannya jauh dari harapan.
Hanya menghasilkan produk personal di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dipenuhi oknum dan sekutu pemilik modal. Isu berkaitan demokratisasi dalam konteks sesungguhnya sangat jauh dari akal sehat dan nilai-nilai masyarakat sipil yang madani.
Terjadi dekonstruksi nilai-nilai hakiki demokrasi, subtansinya justru tereduksi pada persoalan faktor kepentingan inklusif yang tidak lain mewakili sedikit masyarakat yakni oligarki. Nihilisme demokrasi terjadi dengan penetapan batas-batasnya yang dikontrol sangat ketat oleh oligarki melalui sistem politik yang diciptakan.
Jadi, masih yakin mau ikutan pemilu? Masih mau ikut turun jalan berkampanye? Masih mau terkotak-kotak dalam barisan Cebong dan Kampret?
Sepertinya lebih baik berpikir cerdas, tidak asal memilih partai dan calegnya, jauh bermanfaat mikirin kita sendiri daripada menyumbangkan suara untuk melenggangkan kembali posisioning oligarki di pemerintahan dan legislatif.
Ingat, harta kita paling mahal saat ini adalah suara kita, hak pilih kita di saat musim pemilu. Pastikan keputusan politik untuk peningkatan produktivitas serta kualitas demokrasi. Tindakan politik kita arahkan untuk menuntut perubahan terhadap konstruksi ulang nilai berdemokrasi yang benar.
Jika kira harapan perubahan itu samar, tidak bisa diukur dan atau keseluruhan kepercayaan itu hilang tentunya. Sebuah kewajaran jika kita bersama semua lapisan masyarakat untuk menggugat.
Perlunya aksi kolosal diarahkan diadakannya reformasi yang lebih masif, mengajukan pilihan perubahan total dan pergerakan yang bergerak cepat melalui gagasan revolusi baru. Pilihan revolusi bagian keputusan sensasional dan patriotik untuk menuntun penuntasan permasalahan secara keseluruhan sendi-sendi berbangsa dan bernegara.
Siapakah yang bertanggung jawab gagasan dan aksi revolusi baru ini? Tentunya kita bersama sebagai bagian individu yang bertanggung jawap, bekerjasama bersama anak bangsa, melahirkan gagasan penyelamatan bangsa dari cengkeraman oligarki dan sekutunya. Harus berani melakukan langkah besar brilian, visioner, dan melalui jalan tegas dan jelas yakni revolusi baru.
(Penulis adalah Angkatan Pergerakan 1998, Ketua RGP2024, Alumni HI UGM)