Kaum Reformis Menggugat Rezim Koalisi Oligarki

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH -TOLAK ukur kehidupan demokrasi salah satunya ketersedian proses politik yang berkesinambungan, bermanfaat, dan tersistem. Pemilu adalah bagian dalam kehidupan demokrasi yang paling aktif dan bersifat hidup/organik.

Pemilu bisa dianggap kegiatan rutin dan mempunyai ekosistem demokrasi yang sudah cukup lama dan berkembang serta beradaptasi dengan peradaban politik modern.

Di Indonesia, sejarah pemilu pertama kali dikenalkan pada 1920-an dan 1940-an. Mengalami berbagai siklus kehidupan politik sesuai dengan kondisi pada saat itu di mana Indonesia masih di bawah pengaruh penjajah. Dilanjutkan masa transisi menuju kemerdekaan dan terakhir pemilu dipatenkan menjadi bagian peristiwa politik rutin pascakemerdekan 1945 serta pascareformasi 1998.

Setiap pemilu berulang dalam periode tertentu, ada yang sesuai jadwal, ada yang dipercepat, ada juga permintaan pemilu yang diundur.

Ketika pemilu berlangsung maju atau mundur tentunya dipastikan adanya peristiwa politik yang mendahuluinya. Krisis ekonomi 1996 yang memicu peristiwa reformasi 1998 adalah contoh kejadian politik yang luar biasa dan berisiko tergulingnya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 30 tahunan.

Akhirnya terjadi proses politik penting yakni kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto dan diambil alih dalam kabinet transisi di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Hasil keputusan berkaitan pemilu yakni proses percepatan pemilu ulang dan membatalkan hasil pemilu sebelumnya.

Wacana pemilu diundur sempat viral di pemerintahan Jokowi saat ini. Isu ini justru dilontarkan oleh salah satu menteri pembantu presiden dan didukung elite partai politik. Jadi pemunduran jadwal pemilu sudah menjadi ranah keputusan politik.

Isu penundaan hampir saja melengserkan jabatan presiden. Menjadi ramai dan kadang menjadi isu tidak produktif. Dalam kasus ini keputusan penting jadwal pemilu tergantung seberapa kuat bargaining rezim berkuasa dan kekuatan oposisi melakukan perbincangannya berkaiatan daya tawar memproses dan menghasilkan keputusan politik.

Kendati wacana penundaan pemilu sudah formal dibatalkan, bisa disimpulkan jika isu-isu keputusan penundaan pemilu sangat kental oleh berbagai kelompok kepentingan.

Dalam sistem kepartaian di Indonesia tidak mengenal partai oposisi, setidaknya partai yang tidak berada di luar barisan koalisi pemerintah dianggap mewakili kepentingan pihak kelompok berseberangan. Siklus ekosistem kepartaian berjalan salah satunya melalui media pemilu.

Pemilu akan menghasilkan produk dan kebijakan berserta keputusan politik. Begitu besar peranan pemilu tersebut, terjadilah perputaran dan pemusatan kepentingan.

Melalui pemilu banyak pihak formal ataupun pihak tak terlihat/hantu memainkan peran dan menanamkan, menyisipkan agenda-agenda strategis dalam rangkaian kegiatan proses dan sampai akhir pemilu.

Adat dan istiadat pemilu rupanya banyak yang berkeyakinan jika ritual tersebut sangat sakral, pesta rakyat dan agenda politik yang krusial perubahan dan perkembangan politik kekinian.

Di lain sisi pemilu dicibir sinis, bahwa pemilu hanya melegalisir kepentingan oligarki. Itu sebuah kesimpulan tepat dan menohok. Dalam setiap model bentuk pemerintahan monarki atau demokrasi, oligarki selalu ada dan para pihak yang selalu dominan berperan dan menguasai keseluruhan pemerintahan.

Oligarki sebagai minoritas kelompok kepentingan dengan daya dukungan penuh, kekuasaan finansial serta jaringan yang powerful dan tindakannya sebagai keputusan dahsyat, mematikan lawan individu atau korporasi.

Di Indonesia, penulis melihat jika pesta demokrasi seperti pemilu digunakan untuk legalisasi, memperoleh pengakuan formal atau legitimasi publik. Mereka akan menempatkan orang atau kelompok melalui organ dan badan formal seperti menjadikan anggotanya menjadi DPR dan DPD, kepala daerah dan kepala negara.

Yang sangat disayangkan jika oligarki dengan kecukupan modal justru mendapatkan subsidi kebijakan di mana dana pembiayaan pemilu tersebut murni uang rakyat bukan sumbangan para pihak oligarki. Kepentingan legalitas oligarki tersebut justru dibiayai oleh dana memakai yang rakyat dari hasil pajak masyarakat.

Bentuk organisasi oligarki bersifat superbody. Identik kekuasaannya sebagai Tuhannya suatu kepala pemerintahan dan kepala negaranya. Jadi tidak salah jika masyarakat mengecap anggota dewan, kepala daerah atau kepala negara bukan wakil yang memiliki mandat resmi tetapi mereka bekerja dan mengabdi untuk sebagai majikannya sebagai petugas oligarki.

Oligarki adalah ancaman dan merupakan bagian bencana bagi penguatan nilai-nilai demokrasi masyarakat sipil. Bayangkan rencana anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp 95 triliun tidak ada manfaat secara riil untuk masyarakat dalam perspektif penegakan demokrasi dan pencapaian supremasi keterwakilan rakyat dalam permusyawaratan perwakilan yang jurdil.

Legacy oligarki salah satunya melalui pemilu. Menggugat sistem pemilu yang hanya menguntungkan oligarki dan sekutunya. Jadi, pemilu bukan didesain untuk proses transisi demokrasi atau perubahan rezim, tetapi pemilu pada akhirnya hanya sebagai stempel formal kolektif mengamankan kepentingan.

Pascareformasi 1998 berjalan, pemilu di Indonesia menganut kultur multipartai. Pada dasarnya tidak berbeda secara esensi dengan sistem kepartaian terbatas yang berlaku di zaman Orde Baru di mana partai dikunci dan dikendalikan sepenuhnya oleh rezim berkuasa.

Harapan besar euforia reformasi menyangkut modernisasi peradaban masyarakat berdemokrasi secara luas dan bebas. Ternyata secara keseluruhan stakeholder bangsa ini selama reformasi berjalan hampir 20 tahun, tetap saja demokrasi yang diharapkan mengalami stagnasi dan blunder. Tidak ada plafon nasional berkaitan agenda reformasi berkelanjutan.

Kondisi sampai saat ini menjelang Pemilu 2024 yang akan memilih DPR, Presiden serta kepala daerah, ritual demokrasi tersebut dikatakan sebagai bagian aktivitas formal yang mandul, tidak produktif untuk rakyat untuk mengangkat dan mengentaskan nilai-nilai universal berdemokrasi yang pencapaiannya jauh dari harapan.

Hanya menghasilkan produk personal di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dipenuhi oknum dan sekutu pemilik modal. Isu berkaitan demokratisasi dalam konteks sesungguhnya sangat jauh dari akal sehat dan nilai-nilai masyarakat sipil yang madani.

Terjadi dekonstruksi nilai-nilai hakiki demokrasi, subtansinya justru tereduksi pada persoalan faktor kepentingan inklusif yang tidak lain mewakili sedikit masyarakat yakni oligarki. Nihilisme demokrasi terjadi dengan penetapan batas-batasnya yang dikontrol sangat ketat oleh oligarki melalui sistem politik yang diciptakan.

Jadi, masih yakin mau ikutan pemilu? Masih mau ikut turun jalan berkampanye? Masih mau terkotak-kotak dalam barisan Cebong dan Kampret?

Sepertinya lebih baik berpikir cerdas, tidak asal memilih partai dan calegnya, jauh bermanfaat mikirin kita sendiri daripada menyumbangkan suara untuk melenggangkan kembali posisioning oligarki di pemerintahan dan legislatif.

Ingat, harta kita paling mahal saat ini adalah suara kita, hak pilih kita di saat musim pemilu. Pastikan keputusan politik untuk peningkatan produktivitas serta kualitas demokrasi. Tindakan politik kita arahkan untuk menuntut perubahan terhadap konstruksi ulang nilai berdemokrasi yang benar.

Jika kira harapan perubahan itu samar, tidak bisa diukur dan atau keseluruhan kepercayaan itu hilang tentunya. Sebuah kewajaran jika kita bersama semua lapisan masyarakat untuk menggugat.

Perlunya aksi kolosal diarahkan diadakannya reformasi yang lebih masif, mengajukan pilihan perubahan total dan pergerakan yang bergerak cepat melalui gagasan revolusi baru. Pilihan revolusi bagian keputusan sensasional dan patriotik untuk menuntun penuntasan permasalahan secara keseluruhan sendi-sendi berbangsa dan bernegara.

Siapakah yang bertanggung jawab gagasan dan aksi revolusi baru ini? Tentunya kita bersama sebagai bagian individu yang bertanggung jawap, bekerjasama bersama anak bangsa, melahirkan gagasan penyelamatan bangsa dari cengkeraman oligarki dan sekutunya. Harus berani melakukan langkah besar brilian, visioner, dan melalui jalan tegas dan jelas yakni revolusi baru.

(Penulis adalah Angkatan Pergerakan 1998, Ketua RGP2024, Alumni HI UGM)

Exit mobile version