Pemerintah dengan tegas larang ekspor minyak goreng mulai dari 28 April 2022. Namun, 2 minggu berselang, dampak larangan tersebut belum terlihat.
Fakta di lapangan ditemukan harga minyak goreng masih bertahan di atas Rp 14.000 per kilogram baik di pasar tradisional maupun supermarket.
Namun dampak negatif bisa timbul dari larangan ekspor minyak goreng ini. Menurut mantan sekretaris kementerian BUMN Muhammad Said Didu mengungkapkan yang diuntungkan dari kebijakan larangan ekspor minyak goreng adalah Malaysia.
Pasalnya dengan absennya Indonesia dari ekspor minyak goreng, negeri jiran bisa merebut 30% pangsa pasar Indonesia. Hal ini membuat posisi Malaysia kuat menguasai 60% pasar global.
“Akhirnya petani sawit Malaysia yang nikmati kebijakan pemerintah Indonesia. Sementara petani Indonesia yang remuk,” cuit Said Didu seperti yang dikutip dari akun Twitter @msaid_didu pada Rabu, 11 Mei 2022.
Selain itu, Said Didu juga dampak kebijakan larangan ekspor minyak goreng telah merugikan negara trilyun rupiah. Salah satunya untuk pemeberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi mahalnya harga minyak goreng.
Seperti diketahui Pemerintah memberikan bantuan langsung tunai (BLT) untuk 2,5 juta PKL yang berjualan gorengan dan 20,5 juta keluarga penerima BPNT dan PKH. Masing-masing akan menerima bantuan sebesar Rp100.000 selama 3 bulan yakni April, Mei dan Juni.
Selain kerugian untuk pemberian bantuan, Said Didu juga mengungkapkan dampak larangan ekspor minyak goreng pada pendapatan negara. Pendapatan tersebut biasa berasal dari aktivitas ekspor minyak goreng.
“Dampak larangan ekspor larangan ekspor minyak goreng dan CPO : 1) sdh habiskan subsidi dan BLT sktr Rp 15 trilyun. 2) kehilangan pendaparan negara sktr Rp 12 trilyun per bulan, 4) kehilangan devisa sktr $ 1,5 milyar/bln, 5) memperkaya Malaysia. Dengan kerugian tsb apa migor turun?” kata Said Didu.
Nyatanya dengan kerugian sebesar tesebut, Pemerintah belum berhasil menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Sebelumya, Said Didu menyarankan untuk memberikan anggaran tersebut melalui pemberian subsidi. Yakni dengan menugaskan bulog atau perusahaan BUMN lainnya untuk mensubsidi minyak goreng.
“Uangnya diberikan saja bulog. Biar bulog yang membeli dengan harga pasar. Kemudian turunkan harganya setelah dapat subsidi. Bukan seperti sekarang subsidi di DMO, kemudian yang melaksanakan swasta, akhirnya terjadi seperti ini,” jelasnya.***