SEJAK Agustus 2021 hingga hari ini harga minyak goreng tak kunjung turun. Kebijakan subsidi, bantuan lansung tunai (BLT) minyak goreng, pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan pembukaan kembali kran ekspor telah ditempuh.
Penetapan tersangka “mafia migas” juga telah diumumkan oleh Kejaksaan Agung. Namun, berbagai langkah itu tak hanya belum mampu menurunkan harga minyak goreng di pasaran, namun di sisi lain juga merugikan petani sawit tepat menjelang hari raya Idul Fitri.
Fenomena ini tentulah harus ditangkap oleh DPR sebagai sebuah objek politik yang menarik. Disamping kenaikan harga minyak goreng menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat, ini juga momentum yang baik untuk membangun keberpihakan sekaligus pemanasan menuju Pemilu 2024 bagi partai-partai politik.
Sayangnya, DPR menyikapi ini sebagai momentum biasa-biasa saja sehingga langkah-langkah pengawasan DPR menggunakan perangkat (tools) fungsi pengawasan parlemen yang reguler: Rapat Dengar Pendapat dan Kunjungan Kerja.
Sepanjang masa sidang IV tahun 2021/2022 yang bertepatan dengan momentum bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, dalam laman resmi dpr.go.id, tercatat tujuh rapat yang diselenggarakan Komisi IV dan Komisi VI DPR terkait dengan kenaikan harga minyak goreng.
Efektif atau tidaknya jumlah itu masih bisa diperdebatkan, tapi kesusahan yang dirasakan oleh rakyat seharusnya menjadi wacana yang terus disuarakan oleh DPR dalam agenda-agenda parlemen.
Fakta di atas menegaskan bahwa fenomena pelaksanaan fungsi pengawasan DPR secara sporadis, tidak sistematis, terkonfirmasi adanya. Saat viral satu masalah, saat itu juga DPR memanggil mitra kerjanya.
Metode pengawasan seperti ini tidak cukup efektif untuk menemukan solusi tepat dan cepat karena lemah argumentasi yang diperoleh dari hasil pemantauan yang sistematis dan temuan masalah di lapangan oleh DPR sendiri.
Klaim semacam “berantas mafia minyak goreng” tinggalah menjadi jargon semata. Sementara rakyat masih kesulitan untuk memperoleh minyak goreng murah. Harga-harga makanan naik tanpa kompromi. Tingkat kemiskinan juga naik.
Dampak yang dirasakan oleh masyarakat luas, baik pengguna minyak goreng dan petani sawit, tampaknya kurang cukup menggugah DPR untuk menggunakan perangkat pengawasan yang lebih lanjut. Setiap anggota DPR memiliki hak untuk bertanya dan harus dijawab oleh pemerintah.
Secara kelembagaan, hak angket atau hak interpelasi dapat digunakan oleh DPR untuk menunjukkan langkah serius dalam menanggulangi kenaikan harga minyak goreng. Tapi, masyarakat masih menunggu DPR untuk menggunakannya.
Dalam konteks kenaikan harga minyak goreng, pengawasan parlemen yang efektif seharusnya mampu untuk menemukan solusi jangka pendek maupun jangka panjang.
Bagaimana pengawasan parlemen memastikan minyak goreng murah untuk rakyat, ketersediaannya terjaga, dan petani sawit memperoleh keuntungan dari kegiatan berkebun sawit. Fungsi pengawasan parlemen dituntut untuk dapat menjangkau urusan minyak goreng dari hulu hingga hilir. Lebih dari tata niaga, melainkan mencakup tata kelola.
Pengawasan yang efektif merupakan kontribusi jangka panjang terpenting yang dapat diberikan oleh Anggota DPR untuk demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (George Tsereteli: 2019). Pengawasan parlemen tidak hanya memastikan bahwa kebijakan negara -dalam hal ini tata kelola minyak goreng- dilaksanakan oleh pemerintah dengan baik, tetapi juga harus mampu menemukan permasalahan yang muncul dan meminta pertanggungjawaban pemerintah dalam implementasi kebijakan itu, baik kasuisitik maupun sistemik.
Tata kelola minyak goreng nasional dari hulu hingga hilir bersifat multisektor, karenanya dibutuhkan pengawasan lintas komisi-komisi DPR. Pengawasan dimulai dari pengadaan tanah dan investasi, pertanian, perkebunan, industri, perdagangan, hingga distribusi dan harga.
Oleh karena itu, DPR dituntut untuk mengembangkan metode baru dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap tata kelola minyak goreng
Alih-alih pengawasan sporadis, DPR seharusnya mulai mengembangkan fungsi pengawasan secara sistematik dan sistemik dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan DPR terhadap pemerintah. Pengawasan sporadis hanya tampak ramai di permukaan, tapi belum tentu mampu menjawab persoalan.
Pengawasan sistematik mengacu pada proses pengawasan secara terencana, terstandar, terstruktur, terukur dengan langkah-langkah dan tindak lanjut yang lebih jelas serta mengacu pada peraturan yang berlaku, melibatkan partisipasi masyarakat dan berbasis pada nilai-nilai akuntabilitas.
Dengan pengawasan sistematik DPR dapat memahami duduk permasalahan yang sebenarnya, apakah terkait aktor, kebijakan, perilaku pasar atau persoalan lainnya.
Pengawasan sistemik mengacu pada objek pengawasan, yaitu sistem dari tata kelola minyak goreng yang dikembangkan oleh pemerintah. Wilayah yang dapat dijangkau pemerintah itu sendiri. Dengan cara DPR akan lebih mudah untuk membangun sistem deteksi dini terhadap segala bentuk masalah yang muncul dalam struktur tata kelola minyak goreng nasional.
Mengacu pada dua cara pengawasan di atas, DPR dapat menentukan siklus fungsi pengawasan parlemen yang menyatu dengan siklus legislasi dan siklus penganggaran, termasuk laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Adanya siklus fungsi pengawasan ini menuntut parlemen untuk mengambil sikap terhadap satu isu dalam jangka panjang dari implementasi kebijakan yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, ujian sebenarnya demokrasi di Indonesia adalah sejauh mana DPR dapat memastikan bahwa pemerintah tetap bertanggung jawab kepada rakyat dengan menjaga pengawasan atas kebijakan dan implementasinya oleh pemerintah.
Apakah DPR dalam meminta pertanggungjawaban pemerintah secara efektif pada akhirnya akan bergantung pada sejauh mana konfigurasi politik dan komitmen partai-partai terhadap pemilihnya.
*(Penulis adalah Direktur Indonesian Parliamentary Center)