Berbondong-bondong CPNS Mundur, Pemerintah Abai atau Krisis Mentalitas?

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

OLEH: DIAN FITRIANI*

BERDASARKAN data terakhir, jumlah CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) mengundurkan diri sebanyak 90 orang. Dari 105 orang yang Mei lalu dikabarkan mengundurkan diri, jumlah pengunduran diri CPNS memang mengalami penurunan, akan tetapi tidak terlalu signifikan sehingga hal ini patut menjadi perhatian.

ADVERTISEMENTS

Jumlah pengunduran diri CPNS yang berkurang pun disebabkan adanya antisipasi dari beberapa instansi, berdasarkan keterangan Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama BKN, Satya Pratama. Beliau menjelaskan, jumlah CPNS yang mengundurkan diri memang bisa berkurang. Instansi biasanya masih berusaha menggantikan peserta yang mundur sebelum ditetapkan NIP-nya.

ADVERTISEMENTS

 

Fenomena CPNS yang mengundurkan diri sebetulnya bukanlah kali pertama di Tanah Air, namun angka fantastis pengunduran diri CPNS terjadi pada tahun ini. Sehingga pertanyaan mengapa, tentu muncul di benak masyarakat, baik mereka yang juga termasuk dari pendaftar CPNS, ataupun masyarakat umum lainnya.

ADVERTISEMENTS

Pasalnya menjadi PNS dianggap profesi yang profitabel, selain setiap PNS mendapatkan gaji sesuai dengan kualifikasi personal yang dimiliki, mereka juga mendapatkan berbagai tunjangan. Salah satunya uang pensiunan.

ADVERTISEMENTS

Sehingga, sangat disayangkan jika setelah dinyatakan lulus, mereka justru memilih mengundurkan diri terlepas kendala pribadi yang mungkin akan dibahas dalam beberapa ulasan berikut.

ADVERTISEMENTS

 

Lalu apa yang menyebabkan ratusan CPNS mengundurkan diri? Setidaknya ada dua alasan yang menjadi poros utama pada fenomena pengunduran diri CPNS ini. Pertama adalah gaji yang tidak sesuai ekspetasi. Kedua adalah penempatan kerja CPNS yang tidak sesuai dengan keinginan.

ADVERTISEMENTS

Selain dua alasan, ada beberapa alasan lainnya yang juga turut menjadi perhatian pemerintah, khususnya dan masyarakat umumnya.

 

Bila dulu, sebutlah melamar menjadi PNS adalah satu-satunya kesempatan yang mereka upayakan, maka hari ini kita mengalami kenaikan peluang kerja mengingat 2 tahun lamanya peradaban dunia digerus oleh pandemi, sehingga seluruh penjuru dituntut untuk rekonstruksi sistem kerja menuju digitalisasi.

Maka momentum digitalisasi inilah yang membuat transmisi nilai-nilai dan sistem tatanan sosial secara drastis, dari penggunaan smartphone yang meningkat, bisnis online, penggunaan mata uang digital seperti crypto, trading, terlepas dari cara tersebut dibenarkan dalam agama ataupun nilai-nilai moral.

Akan tetapi, diakui atau tidak hal tersebut menjadi alternatif masyarakat demi menambah pundi-pundi rupiah sehingga terbukanya kesempatan kerja yang semakin luas meski berbanding lurus dengan jumlah pengangguran yang semakin meningkat.

Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa faktor inilah yang membangun mentalitas baru masyarakat, sebutlah masyarakat digital. Semakin luasnya kesempatan kerja guna menambah pundi-pundi rupiah, tentu membuat masyarakat memiliki standar hidup yang lebih hedonis.

Bila dengan menggerakan jemari mereka dapat meraup keuntungan, lantas mengapa harus menjadi PNS, misal dengan gaji yang tak memadai dan penempatan yang tidak strategis, misalnya ditugaskan di pelosok yang susah sinyal, tentu ini menjadi tantangan sekaligus ujian yang tak pernah dibayangkan.

 

Selanjutnya, faktor militansi masyarakat tentu menjadi indikator instabilitas mental masyarakat, khususnya pada kasus pengunduran diri CPNS. Era new normal dengan pengarusutamaan digital sedikit demi sedikit menggerus pribadi masyarakat Indonesia seperti nilai-nilai optimistis, kemandirian, gotong royong, empati, dan kerja keras.

Meski digitalisasi membawa banyak perubahan baik secara infrastruktur, efesiensi energi serta optimalisasi pemberdayaan masyarakat, namun penyalahgunaan sosial media tak dipungkiri mengaburkan kemajuan, ekspetasi masa depan yang terlalu tinggi, muncul kluster Gen Z yang rentan mental health, kecemasan berlebih hingga minimnya militansi dan integritas.

PNS termasuk Aparatur Sipil Negara sehingga menjadi PNS seringkali disebut sebagai bentuk abdi pada negara, sehingga seleksi ketat diadakan guna mencegah adanya minim integritas dan stabilitas calon pekerja yang nantinya akan dipekerjakan.

Tentunya anggaran yang digelontorkan sangatlah besar tiap tahunnya untuk pengadaan seleksi CPNS, sehingga kemunduran satu dua bahkan ratusan CPNS memberikan dampak berarti. Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah.

ASN yang masih jauh dari kata sejahtera menjadi faktor utama lunturnya harapan dan kepercayaan masyarakat bukan saja hanya menambahkan porsi kursi dan posisi calon, namun juga jaminan kecelakaan kerja serta berbagai tunjangan lainnya perlu ditingkatkan.

Bukan saja soal jumlah namun juga restorasi sistem administrasi sehingga peningkatan integritas calon sedikit demi sedikit dapat dipastikan membaik.

Sebagai contoh kejadian gaji fiktif 97 ribu PNS sejak 2014 silam yang tentu tak bisa disepelekan. Bukan saja mengindikasikan cara kerja kotor dalam sistem keuangan negara, namun juga merupakan manifestasi kebobrokan pemerintah yang tidak teliti, hingga kecolongan selama bertahun-tahun lamanya menggaji 97 ribu PNS fiktif.

Lantas ke mana larinya gaji tersebut? Sedangkan di saat yang sama, besaran jumlah gaji PNS yang masih terbilang rendah.

 

Urusan PNS memang tidak berhenti pada pembahasan Gen Z yang krisis mentalitas, tapi juga berlabuh pada bagaimana negara memperhatikan sedemikian rinci perihal perekrutan hingga tanggung jawab pengasuhan ASN, khususnya pada kasus ini yaitu PNS.

Hari ini kita terheran-heran dengan transmisi drastis paradigma masyarakat mengenai PNS, bila jaman dulu PNS menjadi idola orang tua dan mertua, karena dianggap menjamin masa depan keluarga, namun sekarang beberapa di antara mereka justru menganggap CPNS hanya sekadar coba-coba berhadiah.

Hari ini mungkin hanya 0,1 persen yang mengundurkan diri dari seluruh CPNS yang lolos, namun persentase tersebut tentu sangat bisa berubah, entah terjadi eskalasi atau dekadensi, berbanding lurus dengan bagaimana pemerintah mengatasi permasalahan.

Cepat atau lambat, entah itu Gen Z, milenial atau anak cucu yang masih dalam kandungan itu lahir tentu akan jengah jika pemerintah masih saja abai dan menelantarkan hajat hidup rakyatnya.

 

Wallahu a’lam bisowab.

(Penulis adalah Mahasiswi Kesejahteraan Sosial UMJ)

Exit mobile version