BANDA ACEH – Poster ‘dicari orang hilang’ dengan gambar Harun Masiku terpasang di bawah Tugu Pancoran, Jakarta Selatan. Poster tersebut menunjukkan bahwa sudah 900 hari eks caleg PDIP itu masih buron dan gagal ditangkap oleh KPK.
Keberadaan Harun Masiku masih memang menjadi misteri bagi KPK. Terhitung sejak menjadi buronan pada 17 Januari 2020, lembaga antirasuah belum berhasil meringkusnya.
ICW yang memasang poster tersebut menyoroti kinerja KPK. Bahkan, ICW menilai penindakan yang dilakukan KPK saat ini tak lebih dari sekadar retorika, penuh kontroversi dan tumpul.
“Kesimpulan ini bukan analisa kosong, melainkan berdasarkan sejumlah temuan Indonesia Corruption Watch, satu di antaranya menyangkut kegagalan meringkus buronan mantan calon anggota legislatif asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Selasa (28/6).
“Bagaimana tidak, terhitung sejak ditetapkan sebagai tersangka, 900 hari pencarian telah berlalu tanpa menghasilkan temuan signifikan,” sambung Kurnia.
Padahal, kata Kurnia, perkara korupsi yang menjerat Masiku dalam kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR RI itu menarik untuk dikembangkan.
“Sebab, dalam sejumlah pemberitaan, kelindan aktor yang terlibat diduga keras menyasar pejabat teras di dalam partai politik besar. Melihat fenomena merunduknya KPK saat berhadapan dengan politisi, bukan tidak mungkin hal tersebut membentuk teori kausalitas, yakni, jika suatu perkara melibatkan elite partai politik, maka penindakan lembaga antirasuah itu akan mengendur,” kata Kurnia.
ICW menilai terdapat keganjilan dalam penanganan perkara oleh KPK tersebut. Bahkan itu terjadi sedari proses penyelidikan.
“Mulai dari Pimpinan KPK bergeming tatkala pegawainya diduga disekap di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, ketidakjelasan tindakan penggeledahan di kantor PDIP, pemulangan paksa penyidik Rossa Purbo Bekti, hingga penyingkiran tim pencari Masiku melalui Tes Wawasan Kebangsaan,” kata Kurnia.
“Akibatnya, masyarakat berasumsi bahwa sejak awal Pimpinan KPK memang tidak memiliki niat untuk menuntaskan penanganan perkara ini dan membiarkan Masiku serta pejabat teras partai politik tak tersentuh hukum,” sambung dia.
Di sisi lain, alih-alih menjalankan tugas pengawasan yang tegas, Dewan Pengawas dinilai turut mendiamkan kejanggalan KPK tersebut. Padahal, kata Kurnia, Pasal 37B ayat (1) huruf a dan f Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah memberikan ruang bagi Dewas untuk terlibat aktif mengawasi seluk beluk pekerjaan KPK, termasuk dalam ranah penindakan.
“Sehingga, dengan pasifnya Dewan Pengawas, dapat dikatakan lembaga baru KPK itu turut menjadi bagian yang melemahkan lembaga antirasuah,” ucap Kurnia.
“Untuk itu, atas segala problematika pencarian Masiku maka selayaknya Pimpinan KPK, terutama Firli segera berhenti dengan cara mengundurkan diri. Terlebih, selama ini citra KPK juga terus menerus merosot di mata masyarakat pada masa kepemimpinannya,” pungkas dia.
Kasus Harun Masiku
Harun Masiku ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020. Dia diduga menyuap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan SGD 57.350 atau setara Rp 600 juta.
Suap diberikan agar Wahyu mengupayakan Harun Masiku sebagai anggota DPR F-PDIP menggantikan Riezky Aprilia melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).
Harun merupakan satu-satunya tersangka dalam kasus ini yang belum ditangkap dan disidangkan. Tersangka lainnya di kasus ini yakni Wahyu Setiawan, kader PDIP Saeful Bahri, dan eks caleg PDIP Agustiani Tio Fridellina sudah disidang dan perkaranya inkrah.
Ketika OTT pada 8 Januari 2020, KPK gagal meringkus Harun Masiku. Meski kemudian dia menjadi tersangka, keberadaannya tetap tidak ditemukan.
Hingga kini, setelah dua tahun lebih buron, Harun Masiku belum berhasil ditangkap KPK. Malah KPK sering mendapat sorotan karena dinilai enggan dan terus berdalih terkait penangkapan Harun Masiku.