Lebih jauh Jimly mengatakan, “lihatlah betapa dia (totaliterianisem baru) itu, berhasil menyihir semua tokoh datang mengunjunginya, seolah dia saja yang kuat, penentu masa depan bangsa. Bayangkan seandainya presiden RI kelak sebagai kreasi oligarch depan layar (televisi) begini, akan tunduk cium kaki seminggu sekali selama 5 tahun”, tulis Prof. Jimly.
Dia pun menyebut sebagai perbandingan, dengan mengatakan dapat ditelaah juga mengenai pengusaha konglomerat lainnya. Sang konglomerat itu dalam pemantauan Jimly, juga telah berhasil menguasai industri media dari hulu ke hilir.
Sekarang juga membuat dan memimpin partai politik. Ujungnya dia tinggal sebar sumbangan ke ormas-ormas untuk jadi ketua dewan pembina. “Fenomena ini merusak demokrasi,” tandas mantan Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) itu.
Sebelum menutup percakapan itu, Prof Jimly berpesan, “mesti dikendalikan dengan kebijakan larangan konflik kepentingan dengan kuat. Agar ‘neo-totalitarisme’ semacam itu tidak berkembang makin luas. Ini lebih dahsyat bahayanya dari apa yang digambarkan Sheldon Wolin sebagai ‘inverted totalitarianism’ (totalitarianisme terbalik) dalam bukunya Democracy Incorporated, 2008,” tegasnya.
“Totalitarianisme terbalik” adalah istilah yang diciptakan filsuf politik dan ahli teori politik Amerika dan penulis tentang politik kontemporer, Sheldon Wolin pada tahun 2003, – untuk menyebut bentuk pemerintahan Amerika Serikat masa kini. Wolin percaya bahwa Amerikat Serikat sedang berubah menjadi negara demokrasi illiberal.
“Totalitarianisme Terbalik” didefinisikan sebagai sistem demokrasi yang didominasi dan dipelintir oleh perusahaan, sehingga ekonomi lebih berkuasa daripada politik.
Sumber daya alam dan makhluk hidup mengalami komodifikasi dan eksploitasi, sehingga warga negara dapat dibodohi dan dimanipulasi agar menyerahkan kebebasan serta partisipasi politiknya melalui konsumerisme dan sensasionalisme berlebihan.
Ketika akan mengakhiri tulisan ini, kecemasan Prof. Jimly Asshidiqie memantul-mantul dalam pikiran.
Tidakkah kecemasan itu juga sudah menggenangi perasaan masyarakat Indonesia yang tengah kebingungan kehilangan pemimpin sejati yang Pancasilais, akibat tirani ambang batas: sumber mata air politik kegelapan demokrasi?
(Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya)