Miliarder Rusia Kembali Ditemukan Tewas Misterius, Keterlibatan Putin dan Pengikutnya Dipertanyakan

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – Seorang eksekutif senior yang terkait dengan raksasa energi Rusia Gazprom ditemukan tewas di kolam renang rumahnya.

Dilansir TribunWow.com, Yuri Voronov (61), adalah kasus terakhir dari serangkaian kasus meninggalnya para miliarder Rusia dalam keadaan misterius baru-baru ini.

Lantas, benarkah Presiden Rusia Vladimir Putin dan lingkaran dalamnya terlibat dalam hal ini?

Seperti dilaporkan The Sun, Selasa (5/7/2022), Voronov adalah kepala perusahaan transportasi dan logistik yang memiliki kontrak menguntungkan dengan raksasa gas Rusia di Kutub Utara.

Tubuh Voronov, yang menunjukkan luka tembak jarak dekat di kepala, ditemukan di kolam renang rumahnya di sebuah wilayah elite dekat St Petersburg.

Pistol Grand Power semi-otomatis ditemukan di dekatnya, sementara beberapa peluru bekas terletak di dasar kolam.

Komite Investigasi Rusia sedang menyelidiki kematiannya yang diduga terkait dengan pertengkaran antar mitra.

Istrinya dilaporkan mengatakan kepada penyelidik bahwa Voronov selama beberapa minggu percaya bahwa dia ditipu oleh kontraktor dan mitra yang berperilaku tidak terhormat.

Pengusaha itu sempat mengaku takut dia akan kehilangan banyak uang.

Kamera keamanan tidak merekam adanya pengunjung yang datang ke rumahnya di wilayah Leningrad.

Adapun sejak awal tahun, empat bos industri gas dan seorang eksekutif medis kenamaan Rusia telah meninggal secara misterius.

Dua kematian lagi dari eksekutif terkait Gazprom yang sebelumnya dilaporkan di rumah-rumah elite dekat St Petersburg telah memicu kecurigaan bahwa kasus yang diduga bunuh diri ini mungkin adalah pembunuhan.

Alexander Tyulakov (61), seorang pejabat senior keuangan dan keamanan Gazprom di tingkat wakil direktur jenderal, ditemukan oleh kekasihnya sehari setelah perang dimulai di Ukraina pada Februari.

Ia ditemukan ‘mengakhiri hidup’ dengan cara gantung diri di rumahnya yang seharga £500 ribu (sekitar Rp 9 miliar).

Namun laporan mengatakan dia telah dipukuli dengan parah sesaat sebelum dia ‘mengambil nyawanya sendiri’, yang mengarah ke spekulasi bahwa dia berada di bawah tekanan kuat.

Dalam perumahan berpagar elite Leninsky yang juga berada di wilayah Leningrad, tiga minggu sebelumnya, Leonid Shulman (60), kepala transportasi di Gazprom Invest, ditemukan tewas dengan beberapa luka tusukan di tengah genangan darah di lantai kamar mandinya sendiri.

Miliarder Alexander Subbotin (43), mantan manajer tinggi perusahaan energi ramah lingkungan Lukoil dan pemilik perusahaan pelayaran, ditemukan tewas pada bulan Mei setelah mendapat nasihat dari seorang dukun.

Satu teori adalah bahwa ia diracuni oleh racun kimia yang bisa memicu serangan jantung.

Dalam kasus lain, pada bulan April, taipan Vladislav Avayev (51), seorang mantan pejabat Kremlin, diduga telah mengambil nyawanya sendiri setelah membunuh istrinya Yelena (47), dan putrinya (13).

Dia memiliki hubungan tingkat tinggi dengan lembaga keuangan Rusia terkemuka Gazprombank.

Teman-temannya membantah laporan bahwa dia cemburu setelah istrinya mengaku hamil oleh sopir mereka.

Ada klaim bahwa dia memiliki akses ke rahasia keuangan elit Kremlin.

Beberapa hari kemudian multijutawan Sergey Protosenya (55), ditemukan gantung diri di Spanyol, setelah terbukti membunuh istrinya Natalia (53), dan putri remaja mereka dengan kapak.

Dia adalah mantan wakil ketua Novatek, sebuah perusahaan yang juga terkait erat dengan Kremlin.

Seperti halnya Avayev, kasus ini diduga kuat merupakan pembunuhan yang dibuat agar tampak seperti bunuh diri.

Pekan lalu, seorang multi-jutawan, yang telah membuat kekayaannya dengan kerajaan ponselnya, dan istrinya, ditemukan ditikam sampai mati dalam kasus lain yang menimbulkan kecurigaan.

Yevgeny Palant (47), dan istrinya Olga (50), yang keduanya kelahiran Ukraina, ditemukan dengan beberapa luka bekas senjata tajam oleh putri mereka Polina (20).

Sebuah penuturan langsung ke media mengklaim wanita itu bunuh diri karena cemburu setelah Palant mengatakan dia meninggalkannya.

Namun, hal ini dibantah keras oleh sahabat pasangan tersebut.

Nasib Elite Rusia yang Menentang Perang Ukraina

Sejumlah tokoh elite Rusia terang-terangan menyatakan penolakan atas invasi negaranya ke Ukraina.

Mereka adalah segelintir orang yang berani menyatakan pendapat di tengah tekanan pemerintahan Presiden Vladimir Putin.

Dua di antaranya adalah seorang diplomat internasional dan anggota direksi perusahaan keuangan milik pemerintah.

Kolase mantan wakil Presdir perusahaan.

Dilansir TribunWow.com dari The Guardian, Rabu (25/5/2022), Igor Volobuyev menghabiskan dua dekade bekerja di jantung pendirian bisnis Rusia, pertama untuk Gazprom kemudian untuk afiliasinya Gazprombank.

Di perusahaan terakhir, Volobuyev menjadi wakil presiden direksi hingga Februari tahun ini.

Setelah Putin melancarkan perangnya di Ukraina pada akhir Februari, Volobuyev memutuskan dia tidak tahan lagi tinggal di Rusia.

Pria itu pun mengemasi ransel kecil berisi barang-barang dan setumpuk uang tunai, dan terbang ke luar negeri pada tanggal 2 Maret, berpura-pura pergi berlibur.

Beberapa hari kemudian, Volobuyev menyeberang dari Polandia ke Ukraina, di mana dia menghabiskan masa kecilnya.

Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya mencoba meyakinkan para pejabat untuk memberinya dokumen Ukraina dan mengizinkannya mendaftar untuk dinas militer.

“Saya ingin pergi ke tempat di mana saya bisa mempertahankan tanah air saya dengan senjata, saya berusaha setiap hari,” kata Volobuyev dalam sebuah wawancara di pinggiran ibukota, Kyiv.

“Saya tidak akan pernah kembali ke Rusia.”

Ratusan ribu orang Rusia diyakini telah meninggalkan negara itu sejak Putin melancarkan perang.

Banyak intelektual, jurnalis, dan aktivis telah menyuarakan penentangan mereka terhadap konflik tersebut.

Namun, di kalangan elite politik dan pebisnis, pembelotan sangat jarang terjadi.

Terlepas dari laporan tentang kecemasan yang meluas atas invasi ke Ukraina, hanya segelintir orang yang berani berbicara di depan umum untuk mengutuk perang tersebut.

Pada hari Senin (23/5/2022), Boris Bondarev, seorang diplomat yang ditempatkan di misi Rusia untuk PBB di Jenewa, menjadi pejabat tingkat tertinggi yang mengecam perang tersebut.

Ketika mengundurkan diri, Bondarev menulis surat mengungkapkan bahwa dia malu dengan negaranya dan menyebut invasi itu sebagai bencana.

Bondarev mengatakan dia memutuskan untuk mengundurkan diri pada hari Rusia meluncurkan invasi, tetapi butuh berbulan-bulan untuk mengumpulkan tekad dan mengumumkannya.

“Anda mengerti bahwa itu salah,” kata Bondarev sebuah wawancara telepon.

“Itu tidak baik. Tapi itu tidak benar-benar mempengaruhi anda, hidup Anda. Hal-hal buruk ini terjadi di suatu tempat yang jauh. Itu tidak benar tapi begitulah kebanyakan orang berpikir.”

“Tapi sekarang ini benar-benar berbeda: Rusia menyerang negara lain. Ini adalah Ukraina yang selalu kami anggap sebagai saudara kami dan menyerang mereka dengan cara yang paling brutal. Mengebom kota-kota. Mengklaim mereka sebagai Nazi dan di-denazifikasi. Itu sesuatu yang konyol. Itu sesuatu yang tak terbayangkan.”

Bondarev mengatakan dia yakin banyak rekan diplomatnya juga menentang perang, tetapi dia tidak pernah membicarakannya dengan mereka.

“Ini bukan sesuatu yang benar-benar anda bicarakan dengan orang lain, itu bukan sesuatu yang dapat anda bicarakan secara terbuka akhir-akhir ini,” kata Bondarev.

“Semua orang diam.”

Seperti banyak rekan diplomat lainnya, Bondarev tetap menjabat selama dekade terakhir, meskipun Rusia semakin terisolasi karena serangkaian krisis.

Di antaranya termasuk aneksasi Krimea dan penembakan Malaysia Airlines penerbangan MH17 pada tahun 2014.

Namun ia tampaknya tak bisa lagi mentolerir perang yang diinisiasi oleh negaranya sendiri.

Exit mobile version