ACEH

LHP BPK Sebut Ada Empat Masalah Ketidakpatuhan Yang Ditemukan di Bank Aceh Syariah

BANDA ACEH – Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Nomor: 4/LHP-DTT/XVIII.BAC/01/2022, Tanggal: 7 Januari 2022, BPK menemukan beberapa permasalahan ketidakpatuhan di Bank Plat Merah milik Pemerintah Aceh, PT Bank Aceh Syariah Tahun Buku 2022 Semester I dan perlu mendapat perhatian khusus.

Namun, secara umum, BPK menyimpulkan bahwa Pembiayaan Investasi dan Modal Kerja Tahun Buku 2020 dan Semester I 2021, telah dilaksanakan sesuai dengan Keputusan Direksi atas aspek yang diperiksa dan peraturan-peraturan perbankan lainnya dalam semua hal yang material.

Apa saja permasalahan yang menjadi temuan BPK pada PT Bank Aceh Syariah?

Uraian di bawah ini mengacu pada LHP BPK Nomor: 4/LHP-DTT/XVIII.BAC/01/2022, Tanggal: 7 Januari 2022.

Pertama, Pembiayaan kepada perusahaan yang terafiliasi

PT AS dan PT BSG adalah dua debitur yang terafiliasi dalam satu grup yang menerima pembiayaan dari Bank Aceh.

Kedua perusahaan tersebut memiliki pemegang saham pengendali yang sama yaitu Sdr. MB yang juga menjabat sebagai komisaris.

AO tidak memfokuskan kondisi tersebut dalam analisisnya.

Total pembiayaan yang diterima sebesar Rp113,5 M. PT AS menerima pembiayaan sebesar Rp30 M yang digunakan untuk modal kerja proyek multiyears dari TA 2018 s/d 2022 untuk pembangunan bendungan yang dikerjakan secara sharing dengan kontraktor lain.

Pembiayaan menggunakan akad musyarakah PRKS yang tidak tepat untuk membiayai kontrak kerja.

PT BSG menerima pembiayaan seluruhnya sebesar Rp83,5 M yang akan digunakan untuk refinancing dan perbaikan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) serta modal kerja operasional PKS tersebut.

Kebutuhan modal kerja operasional dan pembelian buah sawit (TBS) dihitung dengan turnover yang tidak sesuai data pendukung, sehingga terlalu besar ditetapkan.

Kedua, Ketidakcermatan dalam proses penilaian dan reviu agunan

PT ISW menerima pembiayaan modal kerja sebesar Rp4,7 M untuk operasional keberangkatan jamaah ibadah umroh.

Hasil analisis menunjukkan dana yang diterima sebenarnya digunakan untuk pembelian aset yang digunakan sebagai agunan.

Aset tersebut ternyata belum dibayar lunas dan dilakukan gugatan oleh pemilik awal. Debitur kalah dalam gugatan tersebut.

Selain itu debitur juga digugat dalam kasus menggelapkan dana jamaah umroh sehingga tidak dapat memberangkatkan para jamaah ke tanah suci.

Pada saat ini posisi debitur menjadi terdakwa atas kasus tersebut dan usahanya tutup.

Ketiga, Pembiayaan untuk usaha yang belum beroperasi

PT WIM dan TM merupakan debitur yang mengajukan pembiayaan atas usaha yang belum beroperasi.

PT WIM menerima dua pembiayaan investasi yang digunakan untuk pembangunan wahana bermain berupa waterpark sebesar total Rp5,8 M.

Wahana bermain tersebut belum beroperasi pada saat pembiayaan.

TM menerima pembiayaan investasi yang digunakan untuk membangun hotel sebesar Rp2 M. Hotel tersebut masih dalam proses pembangunan pada saat pembiayaan.

Pedoman bank menyatakan pembiayaan terhadap usaha yang baru berjalan atau startup dapat dipertimbangkan apabila calon debitur telah memiliki pengalaman dan kemampuan mengelola usaha serta memiliki usaha lain yang berjalan baik.

Selain itu, analisis kemampuan keuangan pada PT WIM tidak didasarkan data yang valid dan cenderung dibuat supaya kelihatan baik.

Sedangkan analisis atas pembiayaan kepada TM, AO menghitung profit debitur tidak berdasarkan data laporan laba rugi yang telah dijalankan namun berdasarkan data proyeksi pendapatan.

Saat ini kedua pembiayaan tersebut dalam posisi macet.

Keempat, Pembiayaan yang terindikasi overfinancing

MR dan PT BTO merupakan debitur yang mengajukan pembiayaan investasi untuk membeli alat berat masing-masing sebesar Rp1,9 M dan Rp1,5 M.

Alat berat yang direncanakan untuk dibeli berupa alat berat baru dan bekas.

Alat berat bekas tersebut terindikasi telah menjadi milik debitur pada saat pengajuan pembiayaan.***


Reaksi & Komentar

Berita Lainnya