Bagaimana Membayar Utang Pandemi Covid-19

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI

BERDASARKAN data APBN, diketahui bahwa jumlah pembiayaan utang yang baru dengan menggunakan argumentasi pemulihan atas serangan Covid-19 sebesar Rp 3230,2 triliun selama tahun 2020-2022. Untuk mengangsur pembayaran bunga utang, dihabiskan dana sebesar Rp 1086 triliun, yaitu sekitar 30 persen dari besar utang.

Tidak terbayangkan tentang besarnya nilai suku bunga utang yang dijanjikan oleh debitur kepada kreditur.

 

Agar pembayaran bunga tepat jumlah dan waktu, maka pendapatan dalam negeri dari penerimaan perpajakan dan bukan pajak serta hibah ditargetkan sebesar Rp 5230 triliun selama tahun 2020-2022.

Dengan PDB selama tiga tahun terakhir, maka rasio pendapatan dalam negeri per PDB adalah sebesar Rp 50461 triliun, sehingga rata-rata rasio pajak per PDB per tahun diharapkan sebesar 10,36 persen per tahun.

Rasio pajak per PDB Indonesia sebesar 9,11 persen tahun  2021, dimana angka ini hanya terbatas pada penerimaan pajak saja dan tidak termasuk penerimaan bukan pajak dan hibah. Akibatnya, pemerintah musti menaikkan penerimaan pajak, bukan pajak, dan hibah, agar angsuran pembayaran utang selama periode pandemi Covid-19 tidak gagal bayar.

Juga angsuran pembayaran bunga utang akan semakin membesar pada tahun-tahun berikutnya sesuai besar suku bunga yang berlaku.

Dengan terjadinya peningkatan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat tahun 2022, maka pembayaran bunga utang akan semakin besar. Besarnya pembayaran bunga utang ini akan menekan alokasi subsidi energi dan non energi, serta bantuan sosial.

Akibatnya, LSM-LSM akan semakin bertindak lebih kritis dalam menyuarakan semakin berkurangnya peran pemerintah untuk melindungi persoalan terkait peran dana APBN yang melemah.

Tidak mengherankan, apabila jargon subsidi tepat sasaran dan pemberlakuan harga keekonomian non subsidi akan semakin sering terdengar.

Jika volatilias nilai tukar rupiah menjadi pemicu krisis moneter tahun 1996-1997 dan krisis ekonomi tahun 1998, maka volatilitas dari suku bunga di pasar obligasi atau pasar bond berpotensi memicu terjadinya krisis APBN yang menekan likuiditas dan yang dapat menimbulkan krisis moneter.

Kondisi keuangan yang seperti ini memperberat tantangan dari ancaman krisis pangan, krisis energi, dan mekanisme transmisi resesi global ke perekonomian Indonesia.

Tekanan likuiditas APBN, yang sudah terasakan selama bertahun-tahun segera meningkat, ketika Bank Indonesia menghentikan kegiatan burden sharing.

Efek domino penghentian burden sharing berpotensi menekan likuiditas APBN dan berlanjut pada BUMN-BUMN perbankan dan BUMN nonperbankan, yang selama ini membeli utang pemerintah melalui mekanisme pasar utang pada Bank Indonesia.

Persoalan yang terjadi dapat lebih rumit dibandingkan urusan pinjam-meminjang uang jangka semakin pendek dengan suku bunga yang semakin lebih besar. 

(Peneliti Indef, juga pengajar Universitas Mercu Buana)

Exit mobile version