BANDA ACEH – Syair Sluku-Sluku Bathok karya Sunan Kalijaga cukup familiar di Indonesia, khususnya Jawa. Namun bagaimana jadinya jika syair itu menggema di Kota Makkah.
Ini dilaporkan Solla Taufiq saat berada di Makkah. Syair Jawa itu memberikan suasana beda pada pengajian Kitab Tafsir yang diikuti para santri Doktor Sayyid Ahmad.
Ia menceritakan, di kediaman berpagar tembok putih di jalan Al Maliki Rusayfah Makkah Arab Saudi Senin (26/7/2022), jelang jam 11.30 waktu setempat, yang hanya berjarak 4,6 km dari Masjidil Haram itu belum nampak ada aktifitas.
Sambil menunggu kode dari orang kepercayaan tuan rumah, pihaknya disapa salah satu santri. Dia menginformasikan rombongan petugas haji dipersilakan masuk. Di ruangan itu, tampak beberapa kitab santri yang tersusun rapih di atas rekal dengan hamparan karpet hijau.
Beberapa saat kemudian, para santri hadir menenteng kitab, umumnya mengenakan baju thawb putih dan krem. Mereka menunaikan salat sunnah sebelum kajian.
Sayyid Ahmad Bin Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani kemudian hadir di ruangan berukuran 15×7 meter itu. Pihaknya bersama para santri mendekat. Kajian Tafsir kayar Muhammad Ali Asshabuni, Shafwatut Tafaasir, dimulai. Ada dua kitab yang dibaca hari itu.
Setelah tafsir, kajian dilanjutkan dengan kitab Ihya Ulumuddin. Sejenak sebelum dimulai kajian kitab yang kedua, tak disangka, salah satu santri asal Kota Gudeg Yogyakarta melantukan tembang Jawa karya Sunan Kalijaga Sluku-Sluku Bathok.
Tembang Jawa berjudul Sluku-Sulujk Bathok ini dilantunkan Muhammad Badri dengan apik, dipadudpadankan dengan selawat nabi. Suara Badri sangat bening, syair itu terdengar sahdu.
Sluku-Sluku Bathok merupakan tembang Jawa yang cukup terkenal. Sesuai namanya, lagu dolanan anak ini kental dengan bahasa Jawa. Liriknya menyimpan banyak filosofi kehidupan masyarakat Jawa, khususnya Demak, dan juga ajaran Islam tentang pentingnya keseimbangan jiwa dan raga, batin dan lahir, rohani dan jasmani.
Ulama Disegani
Abuya Sayyid Muhammad Alawy Almaliki Al Hasani merupakan ulama yang cukup disegani. Santrinya tersebar di seantero dunia. Mereka yang pulang menjadi tokoh agama di negaranya masing-masing. Banyak juga yang mengasuh pesantren dengan ribuan santri.
Sayyid Muhamad Alawy termasuk ulama Saudi yang intens menjalin komunikasi dengan banyak ulama-kiai Indonesia, khususnya di Jawa. Salah satunya yaitu KH Syafiq Naschan. Sayyid Muhammad juga pernah bertemu dengan KH Arwani Amin Kudus dan Mbah Hasan ‘Mangli’ Magelang.
Saat ini, rumah dan sekaligus ‘pesantren’ yang dulu diasuh Sayyid Muhammad itu diteruskan putranya, yaitu Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad Alawi Al Almaliki Alhasani. Banyak santri Indonesia dan dari negara asia lainnya belajar di sana. Semuanya Gratis.
Selama mengikuti kajian, menu hidangan datang bergantian, mulai buah anggur, kurma ajwa, roti, teh hangat, dan air mineral. Satu persatu hidangan itu tersaji sebagai bentuk penghormatan. Sehingga, proses ngaji sorogan ala Pesantren Salaf di Indonesia itu terasa santai tapi serius.
Aroma kayu gaharu yang dibakar semerbak memenuhi ruangan. Sesekali, Sayyid Ahmad meminta santrinya untuk mengoleskan minyak wangi khas Arabian Oud kepada peserta pengajian.
Kenangan Sayyid Muhammad dengan Mbah Mangli
Selesai kajian, tiba waktunya berfoto. Saat mendapat giliran, penulis sodorkan foto Abuya Sayyid Muhammad yang sedang merangkul Mbah Mangli kepada Sayyid Ahmad. “Subhanallah, Kiai Kiai,” ujarnya. Sayyid Ahmad nampak sangat kenal dengan sosok kiai asal desa Mangli Magelang.
“Jawi Jawi,” ujar Sayyid Ahmad kepada semua yang hadir. Jawi itu merujuk pada orang-orang dari Asia yang datang ke Mekkah. Bisa juga, istilah itu merujuk kepada ulama-ulama besar dari Indonesia yang besar dan berpengaruh serta para santri dari tanah Jawa yang menuntut ilmu di Makkah.
Setidaknya, ada tiga ulama kelahiran Indonesia yang besar dan harum di Kota Suci karena pernah mendapat tempat untuk mengajar di Masjidil Haram. Ketiganya adalah Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, asal Minangkabau, Syekh Junaid Al Batawi, asal Jakarta, dan Syekh Nawawi Al Bantani, Al Jawi.