BANDA ACEH -Anggaran subsidi BBM dalam negeri yang telah mencapai Rp 502 triliun perlu menjadi rambu-rambu pemerintah untuk mencari cara lain mengatasi inflasi.
Pemerintah Indonesia hingga kini masih bisa bertahan karena ada ‘bantalan’ dari windfall komoditas, juga ekspor. Namun tahun depan, keadaanya akan lebih sulit sehingga pemerintah harus memangkas sejumlah sektor, termasuk subsidi.
“Seberapa kuat pemerintah menjaga inflasi? Mau tidak mau pemerintah harus ancang-ancang bagaimana kita harus bisa berkata enough terkait menjaga inflasi,” kata Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Indonesia (UI), Teguh Dananto kepada wartawan, Jumat (5/8).
Ia menilai, kebijakan subsidi energi tidak produktif. Hal berbeda dengan kebijakan subsidi pangan karena menyangkut kebutuhan masyarakat langsung.
“Kalau subsidi pangan masih ok karena menyangkut orang. (Tapi) Sampai kapan kuat?” sambung Teguh.
Bahkan dari bacaan teguh, rentang enam bulan terakhir ini sangat krusial bagi pemerintah untuk melakukan mitigasi.
“Tahun depan kita tidak ada ruang, harga komoditas turun, windfall profit hilang, sehingga enam bulan ini momentum agar punya uang dan bagaimana kita menyiapkan masa depan,” tegasnya.
Oleh karenanya, ia menilai subsidi energi yang dilakukan pemerintah perlu diarahkan ke hal-hal yang lebih substansial.
“Kita bangun narasi subsidi diarahkan untuk support dunia usaha lebih green, digital dan inklusi,” ucapnya.
“Pelan-pelan harus ada softlanding dari fiskal dan monetary otoritas. Bagaimana mereka pelan-pelan melakukan adjustment inflation. Apakah menaikkan suku bunga atau atau mengatakan enough untuk subsidi energi,” demikian Teguh.