OLEH: ILHAM BINTANG
KASIHAN Presiden Jokowi. Ayah Gibran dan Kaesang itu, kita catat sebagai satu-satunya pihak yang paling concern untuk menekan belanja impor kita. Tidak hanya mengingatkan, bahkan sudah disertai pula ancaman.
Ia akan mencopot menteri atau pembantunya yang tidak mau mengurangi belanja impor. Namun, sejauh ini tampaknya belum ada hasilnya, sehingga Presiden pun marah lagi.
Sampai di sini kita cuma bisa mengurut dada. Sebegitu rumitkah urusan impor itu? Presiden saja dengan segala perangkat kekuasaannya, mestinya tidak ada persoalan yang susah untuk melaksakan visi pemerintahannya.
Pengambil keputusan belanja impor adalah pembantunya: para menteri atau kepala badan dan instansi negara seluruhnya di bawah komando presiden. Ibarat kata, Presiden tinggal duduk manis dan selfie-selfie saja suka hati, semua visi akan berjalan mulus.
Jika ada menteri yang terbukti tidak mampu tinggal ganti. Yang membangkang tinggal perkarakan. Mengerahkan aparat hukum pun tinggal perintah.
Namun, imbauan, instruksi, dan dengan ancaman pun seakan tidak ada yang perduli. Faktanya begitu. Presiden seperti bertepuk sebelah tangan.
Menimbang Kemarahan Presiden
Masih segar dalam ingatan, dalam artikel “Menimbang Kemarahan Presiden Kepada Empat Menteri” (31 Maret 2022) saya menulis mengenai kegusaran Presiden terhadap impor.
Waktu itu Presiden bahkan menyebut secara eksplisit nama menteri yang membuang-buang devisa karena orientasinya belanja impor. Yakni, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Mendikbud Nadiem Makarim yang dulu digadang-gadang sebagai sosok milenial dalam kabinet.
Toh kena “damprat” juga. Lantaran, waktu itu, baru membelanjakan 2 triliun rupiah anggaran instansinya untuk barang produksi dalam negeri.
Lalu kita pun menanti apa yang akan dilakukan Presiden kepada pembantunya yang nama-namanya sudah diumumkan itu.
Momen reshuffle kabinet bulan Juni atau tiga bulan setelah kejadian marah, ternyata bukan tentang empat menteri dimaksud. Reshuffle terkesan hanya dimanfaatkan Presiden untuk kepentingan memperbaiki posisi politiknya dengan memasukkan Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN yang sudah setahun balik kanan ikut koalisi.
Padahal, menurut penilaian kita kinerja pemerintahan yang harusnya mendesak diperbaiki. Menunjuk Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan cuma buang kursi. Zulhas toh bukan sosok yang tepat untuk posisi Menteri Perdagangan.
Kita Bodoh Banget
Kemarahan Presiden Jokowi terbaru, empat hari lalu.
“Lucu sekali APBN yang kita kumpulkan dari pajak PNBP royalti masuk ke APBN kemudian keluar sebagai belanja pemerintah yang dibeli barang impor. Waduh bodoh banget kita kalau terus-terusan impor,” katanya dalam acara Kamar Dagang dan Industri (KADIN) di TMII, Jakarta Timur, Selasa (23/8), seperti yang diberitakan beberapa media pers.
Di depan peserta rapat itu Presiden Jokowi mendorong percepatan digitalisasi UMKM agar masuk ke e-catalog. Dengan masuk ke e-catalog, APBN lebih mudah menyerap UMKM dan mengurangi angka impor.
Ia mengatakan, dana APBN , BUMN, Belanja APBD wajib dialokasikan untuk produk dalam negeri. Pemerintah telah meminta lembaga terkait untuk menandatangani dan berkomitmen mewujudkan hal tersebut.
Pernyataan terbaru Jokowi soal impor itu hanya dimuat di beberapa media, sehingga kurang mendapat perhatian luas publik.
Beritanya, tampaknya termasuk yang kena imbas viralnya kasus “Polisi Tembak Polisi”. Sejak peristiwa mencoreng citra Polri terjadi 8 Juli lalu, praktis sejak itu kasus tersebut menutup banyak peristiwa penting di negeri ini.
Kita menyesalkan itu mengingat persoalan impor berimplikasi mengganggu hajat hidup orang banyak. Impor jelas menguras devisa, mengurangi pemasukan APBN.
Berdasar catatan, nilai impor Indonesia Desember 2021 mencapai 21,36 miliar dolar AS, naik 10,51 persen dibandingkan November 2021 atau naik 47,93 persen dibandingkan Desember 2020.
Sedangkan nilai ekspor Indonesia Desember 2021 22,38 miliar dolar AS atau turun 2,04 persen dibanding ekspor November 2021. Dampak dari neraca keuangan itu pasti mengurangi belanja negara untuk membiayai pembangunan. ekonomi. Yang memang sudah lama payah untuk disedot subsidi energi sehingga ujungnya harus menaikkan BBM.