BANDA ACEH – Tim Inspektorat Khusus (ITSUS) Polri telah memeriksa 97 polisi terkait dengan pelanggaran kode etik dengan upaya menghalangi penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J.
Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan sebagian polisi telah melakukan obstruction of justice atau penghalangan penegakan keadilan, yang menyeret nama Irjen Pol Ferdy Sambo bersama tiga orang ajudan dan istrinya, Putri Candrawathi.
Praktisi hukum Syamsul Arifin mengatakan, selain pelanggaran yang telah terjadi secara masif dan terstruktur dalam pembuktian obstruction of justice, ada upaya kuat mempertahankan posisi mereka saat ini.
Cara menghalangi, melindungi, mempertahankan rekan sendiri meski dalam posisi bersalah sangat identik dalam kejahatan seperti ini.
“Maka ada kemungkinan, dugaan-dugaan adanya konsorsium 303 nyata adanya. Ini harus dibuktikan oleh divisi Propam yang telah mendapatkan perintah dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo,” terang Syamsul Arifin kepada Disway.id, Selasa 30 Agustus 2022.
Ditambahkan Syamsul, ITSUS menjadi ujung tombak dalam membongkar kejahatan yang kabarnya berasal dari sindikasi atau jaringan yang ada di Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Merah Putih bentukan Tito Karnavian saat menduduki jabatan Kapolri.
Dari keterangan 97 polisi itu, kemungkinan bisa dikulik secara mendalam isu-isu yang muncul. “Kita bukan menuduh, tapi gaya bermain sindikat ini cukup rapi,” ungkapnya.
“Maka wajar jika Menko Polhukam Mahfud MD terbunuhnya Brigadir J bisa kemungkinan tidak ada tersangkanya. Ini jika dilihat dari praktik yang dilakukan,” jelas Syamsul.
Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan sebagian polisi telah melakukan obstruction of justice sebuah bentuk operasi persekongkolan yang diduga dikomandoi oleh jenderal guna menjatuhkan martabat Polri.
Syamsul mencurigai, kini ada upaya menahan laju pemberitaan dengan berbagai cara. “Lihat cara mereka memblok website Tempo usai memberitakan penetapan tersangka Ferdy Sambo,” jelasnya.
Situ media saja, lanjut dia diretas. Dengan menggunakan sumber daya manusia yang kemungkinan ada di lingkaran mereka.
“Bahkan akun-akun yang semula vokal seperti @Opposite6890 kini sudah banyak yang meniru. Cara kerjanya sama, seakan-akan memberikan bocoran terhadap sebuah kasus,” jelasnya.
Jika ditilik lebih jauh, akun-akun palsu malah memposting apa yg bukan dari Akun Opposite 6890, tapi lebih memposting sesuai dengan kebutuhan operasi mereka dengan cara yang mereka harapkan tujuan terwujud.
“Saya menduga ini ada Operasi Intelijen Media yang sengaja menggunakan Nickname Opposite 6890 dan akun-akun sejenis hanya untuk mencari aman, cuci tangan, cari follower dan hal lain yang tidak relevan,” paparnya.
Diduga pula, Operasi Intelijen Media ini merupakan faksi-faksi yang kini tengah menyerang satu sama lain di dalam Internal Polri.
Ada juga Faksi Faksi di luar Polri yang memancing di air keruh dan bermain main di tikungan. “Dan semua itu pasti ada tujuannya, selain untuk mengamankan jabatan dan posisi. Ya ini semacam gerakan untuk operasi tertentu,” ungkapnya.
“Mudah-mudahan Pak Polisi tidak lupa permanen terhadap Pasal 221 KUHP dan bersedia membuka arsip bahwa betapa banyak rakyat yang dibui akibat sangkaan Menghalangi penyidikan,” tulis Syamsul dalam pesannya.
Terakhir Syamsul mengingatkan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk tidak lupa dengan unit-unit ponsel miliki 97 anggota polri dan operator-operator seluler.
“Dari situ bisa dikorek faktanya, sebanyak-banyaknya. Lalu kita balik lagi ke kejujuran, keberanian dan jiwa ksatria Polri khususnya para jenderal yang diamanahi mengusut tuntas kasus terbunuhnya Brigadir J secara keji,” pungkas Syamsul Arifin.