NASIONAL
NASIONAL

Kenaikan BBM dan Pemberontakan Mahasiswa

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan

LAGU Jamrud Selamat Ulang Tahun berkumandang hari ini di Gedung DPR, gedung yang katanya mewakili rakyat, untuk merayakan ulang tahun Puan Maharani yang ke 49 tahun. Beberapa anggota DPR berjoget dan bertepuk tangan. Mereka bergembira ria.

Di luar gedung DPR RI, ribuan mahasiswa melakukan perlawanan atas kenaikan BBM. Begitu juga puluhan ribu buruh yang dikerahkan Partai Buruh.

Gerakan mahasiswa ini terjadi secara paralel di berbagai penjuru tanah air. Mereka merasa terkhianati di republik ini, karena mereka berjuang sendiri untuk keterpurukan yang dialami akibat krisis ekonomi, khususnya inflasi dan gelombang PHK, paska kenaikan BBM.

Hanya DPR dari partai PKS saja yang bulat menolak kenaikan BBM ini, maksudnya secara total.

Mahasiswa bergerak merupakan kewajiban sejarahnya. Mahasiswa adalah Avant Garde dari sebuah pemberontakan terhadap situasi yang memuakkan. Hampir seluruh gerakan besar di dunia mempunyai irisan dengan gerakan mahasiswa.

Misalnya, Revolusi Umbrella di Hongkong, beberapa tahun lalu, adalah tulang punggung gerakan rakyat Hongkong melawan pembungkaman sipil oleh rezim Peking di sana.

Begitu juga gerakan civil right,  Kulit Hitam di Amerika, pimpinan Martin Luther King dan Malcom X, di masa lalu, sepanjang tahun 60an, berbarengan dengan gerakan mahasiswa

“The sit-ins”, gerakan menduduki restoran orang khusus kulit putih, maupun Gerakan Tanpa Kekerasan.

Indonesia sendiri, tidak akan pernah merdeka jika mahasiswa tidak melakukan Sumpah Pemuda dan menculik Sukarno Hatta di Rengas Dengklok, untuk dipaksa menyatakan kemerdekaan RI. Begitu juga tahun 1960 an dan era reformasi, di mana mahasiswa tampil sebagai kekuatan moral menjatuhkan rezim zalim.

Naik turunnya gerakan mahasiswa selalu berkaitan dengan representasi politik sebuah negara. Jika representasi itu mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi dan penderitaan rakyat, umumnya mahasiswa mengambil posisi pragmatis dalam aktifitasnya.

Namun, sebaliknya, jika penderitaan rakyat semakin parah dan perwakilan rakyat kurang memperjuangkan, tentu saja mereka akan muncul sendiri mewakili penderitaan rakyat itu.

Fenomena gerakan mahasiswa belakangan ini, antara lain, menolak revisi UU KPK (2019), menolak RUU Omnibuslaw (2020), menolak isu Talibanisasi KPK (2021) dan sekarang isu kenaikan BBM memperlihatkan mahasiswa tampil sebagai Avant Garde.

Artinya, mereka mempertaruhkan reputasi kesejarahannya, bukan sekedar kepentingan dirinya yang terganggu. Analisa kesejarahan biasanya dibarengi dengan analisa kelas, di mana mahasiswa dianggap bagian kelas menengah.

Dalam dialektika Marxian, yang membuat sebuah pemberontakan adalah terganggunya kepentingan material kelas tersebut. Namun, dl berbagai New Social Movement theory, perjuangan “beyond Social Class”, dpat dipahami, yakni perjuanganan mahasiswa lebih besar dari kepentingan dirinya sendiri.

Arah gerakan mahasiswa umumnya tarik menarik antara afiliasinya dan misi suci gerakan itu sendiri. Dari sisi afiliasi, gerakan mahasiswa saat ini, terjadi bukan saja oleh mahasiswa intra kampus, atau BEM, melainkan juga oleh mahasiswa kelompok Cipayung (GMNI, PMII, HMI dll).

Kelompok Cipayung ditenggarai selama ini berafiliasi secara ideologis dengan kelompok sosial yang lebih besar, bahkan partai. Namun, sejatinya mereka dapat berseberangan dengan afiliasi mereka, seperti tahun 1965 dan 1998. Apalagi, dalam situasi era digital saat ini, difahami bahwa loyalitas mahasiswa pada afiliasi vertikal dapat dikalahkan oleh kolaborasi diantara mereka dan kepentingan rakyat.

Kasus kenaikan BBM saat ini begitu buruk, baik dari sisi kepentingan mahasiswa atas masa depan mereka, yakni semakin suram karena beban biaya hidup dan semakin banyaknya PHK, maupun kehidupan rakyat yang semakin sengsara.

Di sisi lainnya, wakil rakyat dan elit-elit bangsa tidak memperlihatkan sensitivitas, misalnya ada pejabat kepolisian yang dibully nitizen karena memakai baju seharga Rp 7-10 juta, ditengah kemiskinan rakyat. Apalagi kasus Sambo yang menggemparkan Indonesia, bahwa supermasi hukum sudah berubah jadi mafia hukum dan kekerasan.

1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya