BANDA ACEH -Hitung-hitungan matematis anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang diklaim naik hingga 3 kali lipat, bahkan diprediksi bakal terus melonjak meski harga BBM subsidi dinaikkan, dipertanyakan.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan ialah salah seorang yang mempertanyakan rasionalitas kenaikan anggaran BBM oleh pemerintah, yang disampaikan melalui akun Twitter pribadinya, Rabu (7/9).
Mulanya, Anthony menjabarkan hasil perhitungan keuntungan yang didapat Pertamina dari harga BBM jenis Pertalite yang kini dipatok Rp 10.000 dari harga sebelumnya Rp 7.650 per liter, serta keuntungan dari kenaikan harga Solar subsidi dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter.
“Bisnis dengan rakyat: harga pertalite naik Rp 2.350 per liter x sisa konsumsi tahun ini anggap 10 juta KL (kilo liter)=Rp 23,5 triliun. Harga solar naik Rp 1.650 per liter x sisa konsumsi 5 juta KL = Rp 8,25 triliun,” papar Anthony.
“Inikah nilai menyakiti hati masyarakat, nilai keadilan: hanya Rp 31,75 triliun?” cetusnya menyambung.
Di lain sisi, Anthony mencatat pendapatan negara per Juli 2022 naik Rp 519 triliun atau 50,3 persen dari produk domstik bruto (PDB), akibat harga komoditas yang notabene milik negara, meroket.
“Bukannya membagi rejeki ‘durian runtuh’ ini kepada masyarakat, sebagai kompensasi kenaikan harga pangan, yang ada malah menaikkan harga BBM. Sehat?” ucapnya menyindir pemerintah.
Salah satu sektor yang terbilang mendapat “durian runtuh”, disebutkan Anthony, adalah sektor batubara. Di mana, nilai ekspornya pada tahun 2021 sebesar 26,5 miliar dolar Amerika Serikat, atau naik 12 miliar dolar Amerika Serikat dari 14,5 miliar dolar Amerika Serikat pada 2020.
“Kenapa Rp 31,75 triliun, sekitar 2 miliar dolar Amerika Serikat saja, tidak ambil dari batubara ini? Kenapa harus dari rakyat kecil? Bukankah batubara milik rakyat juga?” tandasnya.
Hitung-hitungan yang dipaparkan oleh Anthony tersebut dikomentari Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, dengan menuding apa yang disampaikan tidak beralasan menurut perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Maaf Pak Anthony Budiawan, matematika seperti ini tampak memukau tapi ngawur,” kata Prastowo menjawab cuitan Anthony.
Dia mengklaim, pemerintah menanggung selisih harga keekonomian BBM dengan harga jual. Sehingga, jika harga BBM tidak dinaikkan, pun anggaran subsidi BBM yang sebesar Rp 502 triliun akan habis dan harus bertambah sebanyak Rp 89 triliun sampai dengan Rp 147 triliun, tergantung Indonesia Crude Price (ICP).
“Maka kita alihkan (sebagian anggaran subsidi BBM) untuk BLT BBM (bantuan langsung tunai bahan bakar minyak) dan belanja produktif,” katanya.
Dia menuturkan, anggaran subsidi BBM yang naik 3 kali lipat menjadi Rp 502 triliun dari sebelumnya Rp 152,5 triliun hanya cukup untuk memenuhi subsidi BBM sampai Oktober 2022, itu pun akibat kuota minyak mentah habis.
“Maka harus ditambah dan otomatis subsidi meningkat. Dengan asumsi ICP 97 dolar Amerika Serikat (per barel), tanpa kenaikan harga BBM pemerintah harus menambah subsidi Rp 137 triliun. Jika 99 dolar Amerika Serikat (per barel) nambah Rp 151 triliun, dan bila 105 dolar Amerika Serikat akan butuh Rp 195 triliun,” bebernya.
Penjelasan anak buah Sri Mulyani terkait sebab pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, dan kaitannya dengan kenaikkan anggaran subsidi BBM tersebut, dianggap tidak kontekstual dengan hitung-hitungan Anthony Budiawan soal keuntungan Pertamina dibalik pembebanan masyarakat di tengah surplus APBN 2022.
“Anda mengerti tweet saya? Berapa tambahan dana diperoleh (Pertamina) dari masyarakat akibat harga naik? Saya ulang: Pertalite: Rp 2.350 x 10 juta KL (konsumsi Sep-Dec/22) = Rp 23,5 triliun. Solar: Rp 1.650 x 5 juta KL = Rp8,25 triliun. Total Rp 31,75 triliun? Saya tidak bicara subsidi. Paham?” beber Anthony sembari bertanya.
Lantas, Prastowo menjawab; “Saya paham kok. Justru karena konsumen BBM ini belum tepat sasaran, maka harga disesuaikan. Efisiensi ini diperoleh dari kontribusi kelompok mampu, lalu kita redistribusi ke kelompok kurang mampu. Jadi terminologi rakyat ini agitatif karena faktanya 80 persen konsumen bukan sasaran,” ucapnya menjawab.