Pemerintahan Jokowi: Maju Kena, Melipir Masih Bisa Selamat

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

OLEH: SALAMUDDIN DAENG

HARI kedua pasca pengumuman kenaikan harga BBM Jakarta makin macet. Hampir seluruh jalanan macet, mulai dari istana sampai ke pinggir. Maju terus makin kena macet, melipir ke pinggir jalan untuk parkir bisa bisa kena derek. Jakarta penuh dengan asap kendaraan bermotor.

Kondisi Jakarta mirip seperti Pemerintahan Jokowi sekarang, jika memaksakan diri jalan terus maka akan berhadapan dengan situasi yang makin crowded, makin buruk dan bisa chaos, bisa bisa banyak orang kena tekanan mental, ngedumel dan banyak orang ngamuk.

Bagaimana tidak, situasi ekonomi makin tidak kondusif. Ini akan bermuara pada kondisi politik yang makin buruk. Padahal sebentar lagi, yakni dua tahun lagi akan ada perhelatan nasional Pemilu 2024, butuh suasana, stabilitas politik yang baik, terkendali dan tenang.

Pemerintahan kehilangan kemampuan mengendalikan keadaan,  membuat rakyat tenang, nyaman, dan tentram. Kebijakan apapun yang dikeluarkan pemerintah pasti akan berlawanan dengan keinginan rakyat.

Pokok perkaranya adalaha rakyat ingin kesejahteraan namun pemerintah tidak dapat memberikannya. Sebaliknya pemerintah berusaha keras menyelamatkan dirinya dari berbagai tekanan bertubi tubi yang berasal dari luar negeri, yang makin hari membuat kantong pemerintah jebol. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kering kerontang.

Apa sebab?

Dua tahun dihajar Covid-19 telah membuat Pemerintahan Jokowi menumpuk utang besar besaran untuk membiayai Covid-19. Konon katanya uang dalam jumlah sangat besar dialokasikan pemeirintah untuk kesehatan dan membantu perusahan yang kolaps, membantu UMKM, penyertaan modal ke BUMN yang ambruk.

Tahun 2020 pemerintah nambah utang Rp 1.000 triliun lebih, tahun 2021 nambah utang lagi Rp 600 triliun, tahun 2022 juga akan menambah sekitar Rp 600-700 triliun. Uang itu ludes semuanya tanpa menyisahkan harapan ekonomi akan pulih kembali seperti sebelum pandemi covid 19 datang. Padahal sebelum Covid-19 datang keadaan utang pemerintah sudah cukup membahayakan.

Sebagian besar utang itu berasal dari dalam negeri dan utang komersial berbunga tinggi. Berasal dari dana bank, dana asuransi, dana Jamsostek, dana Asabri, Taspen, dana LPS, dana haji, dari pasar keuangan melalui global bond, dan lain sebagainya.

Selama Covid-19 tidak ada tambahan utang luar negeri pemerintah. Sebaliknya utang luar negeri pemerintah malah berkurang. Tahun 2022 utang luar negeri pemerintah berkurang 13 miliar dolar. Ada apa gerangan?

Pemerintah disemprit oleh International Monetary Fund (IMF) yang mengeluarkan larangan kepada BI untuk membeli obligasi pemerintah di pasar perdana. Sebelumnya, berbagai institusi keuangan internasional menyebutkan Indonesia melakukan pelanggaran moneter yang serius terkait kebijakan tersebut.

Tampaknya pemerintahan Jokowi tidak lagi mendapatkan kepercayaan dari pemilik uang internasional. Sehingga, selama Covid-19 tidak ada aliran uang dari lembaga keuangan multilateral maupun dari negara kaya yang selama ini memberi utang kepada Indonesia. Mungkin negara-negara kaya ini juga sudah tidak senang dengan pemerintahan Jokowi. Tidak ada titik negosiasi di Indonesia. Mungkin.

Tekanan bertubi-tubi

Covid-19 belum selesai datang lagi guncangan keuangan. Hal ini dipicu oleh kebijakan Amerika Serikat (AS) yang menaikkan suku bunga. Katanya untuk mengendalikan inflasi yang makin membahayakan di sana. Menaikkan suku bunga menjadi kebijakan yang akan dilakukan berkali kali oleh The Fed.

Apa hasilnya? Uang lari ke Amerika Serikat. Ekonom menyebutnya dolar pulang kampung. Suku bunga AS lebih menjanjikan bagi investor ketimbang menanamkan uangnya dalam obligasi negara Indonesia yang sangat beresiko. Resiko ketidak pastikan kebijakan, resiko volatilitas mata uang dan resiko politik lainnya.

Belum jelas sampai kapan The Fed akan menaikkan suku bunga yang kelihatan dicicil sedikit demi sedikit, tiba-tiba Rusia melancarkan operasi militer khusus ke Ukraina. Sontak harga minyak melompat ke 120 dolar per barel. Padahal, selama Covid-19 harga minyak rendah, bahkan sempat dibawah nol.

Kenaikan harga minyak membuat dunia pontang panting, terutama negara negara yang sebagian besar kebutuhan minyak nasionalnya dipasok oleh impor, seperti Indonesia.

Perang Rusia-Ukraina sepertinya akan berlangsung alot. Situasi kembali memanas di Taiwan. Memberi indikasi bahwa perang bisa saja terjadi dalam skala yang lebih besar. Namun intinya adalah perang merupakan alat provokasi penguasa minyak untuk mengembalikan supremasinya. Apa iya?

Apa dampaknya?

Bank Indonesia (BI) buru-buru menaikkan suku bunga acuan. Ini dilakukan untuk menghalangi jangan sampai makin banyak modal keluar Indonesia. Sementara sudah banyak uang keluar untuk membayar bunga utang dan cicilan utang. Jangan sampai ini diikuti dengan capital outflows dari pasar keuangan.

Langkah BI tidak mendapat sambutan dari pasar. Nilai tukar rupiah merosot menyentuh Rp 15.000/dolar AS. Ini bahaya sekali bagi Indonesia, mengingat ketergantungan pada barang barang impor, pangan impor, minyak impor dan lain-lain. Nilai tukar adalah unsur paling penting dalam mengukur tensi ekonomi, panas atau dingin, tenang atau bergejolak.

Kebijakan peningkatan suku bunga acuan membuat bank-bank akan menaikkan bunga pinjaman. Ini cukup mengerikan bagi perusahaan perusahaan di dalam negeri. Sudah kena depresiasi mata uang kena pula tekanan bunga bank yang besar. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.

Tak mau kalah dengan BI. Menteri Keuangan Sri Mulyani melakukan terobosan lebih keras yakni dengan menaikkan pajak. PPN naik menjadi 11 persen. Harapannya bisa menambal jebolnya APBN karena kesulitan mendapatkan liquiditas global melalui utang. Secara teori menaikkan pajak secara bersamaan dengan menaikkan suku bunga, merupakan kebijakan yang tidak lazim.

Kebijakan menaikkan pajak sudah pasti akan menekan masyarakat. Daya beli yang masih lemah, dikenakan pajak tinggi akan kontra produktif dengan usaha pemulihan ekonomi. PPN terutama merupakan pengeluaran langsung setiap masyarakat belanja kebutuhan hidup mereka.

Merosotnya nilai tukar rupiah dan naiknya harga minyak dunia membuat APBN shutdown. Nilai subsidi dan kompensasi BBM meningkat menurut perkiraan perhitungan di akhir tahun.

Angkanya fantastis, Rp 500 triliun lebih menurut pengakuan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Nilai yang tidak mungkin bisa dibayar oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai pergantian subsidi dan kompensasi.

Maka buru buru Menteri Keuangan memutuskan kenaikan harga BBM Solar dan Pertalite. Memang kewenangan ini masih di tangan Menteri Keuangan, mengingat berdasarkan UU 2/2020 kewengan atas APBN sepenuhnya merupakan diskresi Menteri Keuangan. Termasuk memutuskan harga BBM subsidi tanpa harus meminta persetujuan DPR.

Exit mobile version