NASIONAL
NASIONAL

Pemerintahan Jokowi: Maju Kena, Melipir Masih Bisa Selamat

Kenaikan harga minyak membuat dunia pontang panting, terutama negara negara yang sebagian besar kebutuhan minyak nasionalnya dipasok oleh impor, seperti Indonesia.

Perang Rusia-Ukraina sepertinya akan berlangsung alot. Situasi kembali memanas di Taiwan. Memberi indikasi bahwa perang bisa saja terjadi dalam skala yang lebih besar. Namun intinya adalah perang merupakan alat provokasi penguasa minyak untuk mengembalikan supremasinya. Apa iya?

Apa dampaknya?

Bank Indonesia (BI) buru-buru menaikkan suku bunga acuan. Ini dilakukan untuk menghalangi jangan sampai makin banyak modal keluar Indonesia. Sementara sudah banyak uang keluar untuk membayar bunga utang dan cicilan utang. Jangan sampai ini diikuti dengan capital outflows dari pasar keuangan.

Langkah BI tidak mendapat sambutan dari pasar. Nilai tukar rupiah merosot menyentuh Rp 15.000/dolar AS. Ini bahaya sekali bagi Indonesia, mengingat ketergantungan pada barang barang impor, pangan impor, minyak impor dan lain-lain. Nilai tukar adalah unsur paling penting dalam mengukur tensi ekonomi, panas atau dingin, tenang atau bergejolak.

Kebijakan peningkatan suku bunga acuan membuat bank-bank akan menaikkan bunga pinjaman. Ini cukup mengerikan bagi perusahaan perusahaan di dalam negeri. Sudah kena depresiasi mata uang kena pula tekanan bunga bank yang besar. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.

Tak mau kalah dengan BI. Menteri Keuangan Sri Mulyani melakukan terobosan lebih keras yakni dengan menaikkan pajak. PPN naik menjadi 11 persen. Harapannya bisa menambal jebolnya APBN karena kesulitan mendapatkan liquiditas global melalui utang. Secara teori menaikkan pajak secara bersamaan dengan menaikkan suku bunga, merupakan kebijakan yang tidak lazim.

Kebijakan menaikkan pajak sudah pasti akan menekan masyarakat. Daya beli yang masih lemah, dikenakan pajak tinggi akan kontra produktif dengan usaha pemulihan ekonomi. PPN terutama merupakan pengeluaran langsung setiap masyarakat belanja kebutuhan hidup mereka.

Merosotnya nilai tukar rupiah dan naiknya harga minyak dunia membuat APBN shutdown. Nilai subsidi dan kompensasi BBM meningkat menurut perkiraan perhitungan di akhir tahun.

Angkanya fantastis, Rp 500 triliun lebih menurut pengakuan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Nilai yang tidak mungkin bisa dibayar oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai pergantian subsidi dan kompensasi.

Maka buru buru Menteri Keuangan memutuskan kenaikan harga BBM Solar dan Pertalite. Memang kewenangan ini masih di tangan Menteri Keuangan, mengingat berdasarkan UU 2/2020 kewengan atas APBN sepenuhnya merupakan diskresi Menteri Keuangan. Termasuk memutuskan harga BBM subsidi tanpa harus meminta persetujuan DPR.

1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya