PKS Walk Out saat ketok Palu Kenaikan BBM: Dejavu Ala Demokrasi

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH -KENAIKAN BBM tak dipungkiri merupakan kebijakan yang sangat memberikan dampak signifikan bagi stabilitas harga bahan pokok lainnya. Biaya operasional yang membutuhkan bahan bakar minyak tentu menjadi faktor terbesar dari berbagai harga bahan pokok yang merangkak naik.

Harga yang naik bukan saja biaya transportasi umum, seperti angkot, taksi, hingga ojol, bahkan sayur-mayur yang diantarkan dengan mobil bak misalnya, dari dataran tinggi menuju pusat perbelanjaan di kota-kota, tak menutup kemungkinan kena imbas dari kenaikan harga BBM dan juga banyak lagi yang akan menyusul kenaikan harga BBM.

Hal ini tentu sudah seharusnya menjadi perhatian bagi parpol yang seyogyanya menganalisis dampak-dampak dari kebijakan pemerintah terhadap masyarakat luas.

Meski idealnya demikian, akan tetapi tidak semua parpol mewakili rakyat, terlebih aliran politik secara umum terbelah menjadi dua, contohnya kelompok papol koalisi petahana yang kini membersamai parpol eksekutif, dan parpol oposisi yang kini berada pada kutub yang berlawanan dengan pemerintah, misalnya Demokrat dan PKS.

Pada Selasa 6 September 2022 lalu, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) walk out dari Sidang Paripurna DPR RI, karena menolak kenaikan harga BBM bersubsidi. Menurut Jurubicara Fraksi PKS, Mulyanto yang dipersilakan interupsi saat sidang, partainya menyampaikan aspirasi rakyat yang menolak kenaikan harga BBM bersubsidi.

Ia merasa tidak akan didengar, hingga akhirnya memutuskan hengkang dari ruang rapat dengan membawa spanduk yang menarasikan penolakan terhadap kenaikan BBM.

Atas penolakan yang mereka lakukan, tentu berdalil demi membela aspirasi rakyat. Mereka melakukan itu tidak lain untuk memberikan manifestasi perjuangan partai politik yang ikhlas berjuang memperjuangkan suara rakyat. Tentunya hal tersebut disambut baik oleh masyarakat, mereka berbondong-bondong memberikan pujian, dukungan bahkan mereka tak segan mendo’akan untuk menjadikan Fraksi PKS menang pada tahun politik 2024 nanti.

Pertanyaannya adalah apakah ini adalah benar-benar pembelaan terhadap penderitaan rakyat ataukah ini hanyalah sebuah strategi demi dongkrak elektabilitas semata?

Hari ini pembelaan tersebut tampak menenangkan, seolah hari-hari ketika PKS rela berjuang, bahkan turun ke jalanan untuk menolak kenaikan BBM akan terus berlangsung hingga nanti mereka menjadi para penguasa dan elite negeri ini.

Namun melihat sejarah, rasanya ini hanyalah sebuah siklus lingkaran setan belaka, mengiringi perjalanan demokrasi bangsa ini. Skenario politis memang tidak dapat dipungkiri akan selalu ada untuk meraih elektabilitas di tengah pertempuran menjelang tahun pesta demokrasi nanti.

Hari ini siapa yang akan menjamin bahwa yang dilakukan PKS tidaklah sama seperti apa yang dilakukan PDIP yang juga walk out pada era rezim SBY kala itu menolak kenaikan BBM 2012 silam.

Puan yang kini Ketua DPR RI dulu bahkan menangis pilu sebagai tanggapannya terhadap kenaikan BBM. Namun kini, jangankan menangis, ia justru tersenyum bahkan gembira sebab perayaan ulang tahunnya di rayakan di tengah rakyat demo menuntut turunnya harga BBM.

Skenario ini juga seharusnya mengingatkan kita, tentang politisasi agama yang dilakukan oleh sejumlah pihak demi meraih elektabilitas, hari di mana mereka masih mengemis suara rakyat, berorasi seolah mereka akan selalu membela rakyat.

Tidakkah ini mengingatkan kita tentang Pilpres 2019 lalu? Kala Prabowo bertakbir bersama rakyat, membela hak-hak rakyat, empati terhadap kriminalisasi ulama bahkan ujarnya akan timbul tenggelam bersama rakyat, namun kini, justru tawaran elite untuk duduk bersama seolah menghilangkan memorinya, bahkan menenggelamkan ingatan-ingatan manis yang ia bangun, mengkhianati bahkan melukai hati rakyat yang kala itu mati-matian membelanya.

Apakah hari ini ketika melihat jemawa PKS berjalan keluar dari ruang sidang paripurna menjadi legitimasi untuk jangka panjang bahwa mereka akan terus begitu meski telah menjadi penguasa? Ataukah hanya sekadar mengulang sejarah?

Rakyat sudah bosan melihat berulangkali siklus tersebut terjadi, lingkaran setan demokrasi memang tidak akan pernah hancur dan putus hingga sistem tersebut membunuh dan meracuni dirinya sendiri.

Rakyat sudah kenyang dengan gimmck politik tiap kali berubah aktor dengan cara yang sama. Tidakkah kekecewaan rakyat saat ini terhadap kebijakan-kebijakan Jokowi, adalah berangkat dari kegembiraan dan dukungan rakyat setelah melihat mantan walikota solo tersebut rela turun ke gorong-gorong hingga menuai banyak pujian?

Bukankah maraknya kasus korupsi oleh kader PDIP kini justru berangkat dari pujian rakyat terhadap mental wong cilik-nya PDIP, hingga drama derai tangis akibat kenaikan BBM kala itu?

Bukankah pengkhianatan Prabowo dan disusul Sandi, adalah berangkat dari simpatisan rakyat yang tertipu oleh bunga-bunga demokrasi yang berselancar berempati atas penderitaan umat islam kala itu?

Tidakkah kita belajar dari sejarah? Bahwa mereka akan menjadi aktor yang berbeda dengan skenario yang sama? Akankah kita tertipu untuk kesekian kalinya?

Puan bahkan menanggapi atas walk out-nya Fraksi PKS dari ruang sidang paripurna adalah tabiat politik, yang sudah menjadi hal biasa. Sehingga seharusnya kita menyadari bahwa tanggapannya mengisyaratkan bahwa apa yang ia lakukan dulu termasuk drama air mata tak lain adalah hanya menjalankan skenario politik demi meraup elektabilitas semata.

Dulu dan sekarang itu sama, sama-sama dengan skenario yang sama hanya aktornya saja yang berbeda. Hari ini bisa jadi adalah kemarin dengan aktor PDIP, dan kini aktornya adalah PKS. Besok lusa saat PKS menang ekeskutif bahkan legislatif, maka tidak ada jaminan bahwa siklus tersebut tidak akan terulang.

Akankah kita rakyat biasa akan kecewa untuk kesekian kalinya? Apakah kita rakyat biasa hanya akan menjadi keledai yang jatuh pada lubang yang sama? Ataukah bangkit, bangkit dari keterpurukan pemikiran, bangkit dari kejumudan paradigma, bangkit dari kekecewaan yang terus menerus menghuni benak rakyat.

Tentu hal ini tidak akan pernah didapatkan dari demokrasi. Pada hakikatnya skenario dan gimmick politik tidak lain hanya lahir dari rahim demokrasi.

Tidakkah kita sampai saat ini menyadari bahwa selama ini kita ditipu oleh sistem yang melahirkan aktor-aktor pemimpin yang minim empati dan gila kekuasaan?

Wallahu A’lam Bi Sowab. 

*(Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ)

Exit mobile version