BANDA ACEH – Aceh Resource and Development (ARD) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Polemik Perbankan di Aceh dalam Membangun Investasi dan Transaksi Jelang PON XXI Aceh Sumut”. Kegiatan berlangsung di Resto Imperial Kitchen, Seutui, Banda Aceh, Rabu (14/9/2022).
Adapun yang menjadi pemateri dalam diskusi ini adalah Ketua Badan Legislasi (Banleg) dan anggota Komisi III DPRA, Mawardi, Perwakilan OJK Aceh, Muhammad Hakimi Sudarmi, praktisi hukum Safaruddin, akademisi Mawardi Ismail, dan pengusaha Muhammad Iqbal Piyeung.
Ketua Banleg DPRA, Mawardi, menyambut baik diskusi yang gelar oleh ARD. Ia menjelaskan, pentingnya forum-forum serupa dilaksanakan untuk mengawal setiap proses legislasi yang ada di lembaga legislatif.
“Saya sepakat untuk ini ditunjau ulang, karena ada beberapa regulator lain seperti Qanun Wali Nanggroe sudah direvisi yang ketiga, lalu Qanun tentang Baitul Mal, jadi semua,” kata Mawardi.
Ia menyebutkan, bahwa landangan setiap regulasi di Aceh itu berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Mawardi mengatakan, UUPA hingga kini masih dalam tahapan revisi.
“UUPA ini sendiri juga sedang dalam tahapan revisi, sekarang tahapannya sudah sampai kepada penyiapan tim,” katanya.
“Pemerintah Aceh juga sepakat pasal-pasal mana yang harus diperkuat dalam konteks revisi terbatas dan bersyarat untuk memperkuat posisi Aceh dalam semua sektor,” tambahnya.
Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK), Mawardi Ismail, menyebutkan semestinya pemerintah melahirkan sebuah sistem yang permain terkait pebankan di Provinsi Aceh. Menurut Mawardi, investasi bukan merupakan kerja sebentar, tapi kerja yang panjang serta berkesinambungan.
“Investasi adalah kerja yang bersistem dan investasi sekarang diyakini sebagai salah satu instrumen atau upaya bisa mengatasi kemiskinan,” ujar Mawardi yang juga pakar hukum dari USK ini.
Disisi lain, pemanfaatan teknologi dan komunikasi yang kian canggih ini juga disambut bail oleh Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Aceh. Bahkan pihaknya hingga kini terus mempromosikan transaksi non tunai melalui aplikasi QRIS.
“Sangat mendukung masyarakat menggunakan QRIS. Bahkan zaman sekarang yang sudah serba maju digitalisasi makin berkembang, rasanya masih menggunakan uang cash itu agak lebih praktis jika menggunakan QRIS,” kata Kepala Tim Perumusan KEKDA, BI Perwakilan Aceh, Yon Widiyono.
Pengamat Kebijakan Publik, Nasrul Zaman, dalam diskusi itu menyampaikan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan atas berobahnya sistem syariah atau konvensional dengan pertumbuhan ekonomi di Aceh.
“Jadi Pemerintah Aceh harus panggil Dirut BSI, tanya sama mereka mengapa ini belum mampu memperbaiki pelayanan. Pemerintah punya hak ini untuk bertanya,” ujar Nasrul Zaman.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Almuniza Kamal, menyampaikan bakal mencari solusi terhadap berbagai persoalam yang dapat menyulitkan wisatawan yang melancong ke Aceh, salah satunya terkait perbankan.
“Tentang hal ini sulitnya bertransaksi apakah BSI atau pun bank daerah ini sebenarnya kita akan mencari solusi yang terbaik. Apakah kita membenarkan legacy yang kita miliki ya enggak ada yang sempurna dalam proses penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
“Mari wisata, mari melihat sesuatu yang indah-indah merasakan sesuatu yang indah-indah yang nyaman itu kuncinya,” kata Almuniza lagi.[]