NASIONAL
NASIONAL

Calon Pendeta di NTT Rudapaksa 14 Orang, Rekam Aksi Bejat untuk Takuti Korban

image_pdfimage_print

BANDA ACEH –Calon pendeta berinisial SAS di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), diduga merudapaksa 14 orang. Tak hanya itu, SAS juga merekam sendiri aksi kejinya itu.

ADVERTISEMENTS
Kartu ATM di Rumah, Action Mobile di Tangan

Kapolres Alor, AKBP Ari Satmoko mengungkapkan, awalnya jumlah korban SAS 12 orang. Kini, bertambah lagi dua menjadi 14 orang. Rata-rata korban anak di bawah umur.

ADVERTISEMENTS
Bank Aceh Syariah Mengucapkan Selamat Hari Pahlawan 10 November 2024

“Ada dua lagi korban kekerasan seksual yang dilakukan SAS yang melapor ke Polres Alor,” kata Kapolres Alor AKBP Ari Satmoko.

ADVERTISEMENTS
Memperingati 96 Tahun Sumpah Pemuda dari Bank Aceh Syariah

Perbuatan bejat SAS diduga terjadi sejak Mei 2021 hingga Maret 2022. Selain sebagai korban kekerasan seksual, belasan anak itu juga diketahui sebagai korban pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

ADVERTISEMENTS
Selamat & Sukses atas Pelantikan Ketua DPRA, Wakil Ketua I DPRA dan Wakil Ketua II DPRA

AKBP Ari menjelaskan, dari 14 korban kekerasan seksual itu, ada 10 orang adalah anak usia di bawah 17 tahun, sedangkan empat korban lainnya remaja berusia di bawah 19 tahun.

ADVERTISEMENTS
Pertemuan Tahunan Perbankan Syariah 2024

Sejumlah saksi sudah diperiksa penyidik Polres Alor, termasuk para korban dan orang tuanya. Para korban yang diperiksa adalah saksi bagi korban yang lain.

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hari Santri Nasional

“Beberapa korban sudah menjalani visum di rumah sakit dan sudah memberikan keterangan terkait kasus ini,” kata Kapolres didampingi Kasat Reskrim Polres Alor, Iptu Yames Jems Mbau.

Mengenai akibat yang dialami para korban, dari tindak kekerasan seksual yang dilakukan tersangka SAS, Kapolres menegaskan hingga kini belum ada.

Berita Lainnya:
Bobby Tantang Edy Rahmayadi Laporkan Kasus Tambang Blok Medan

“Kalau akibat langsung sampai hamil belum ada sampai saat ini,” tambahnya.

Calon pendeta itu dijerat dengan Pasal 81 ayat 5 Jo Pasal 76 huruf d Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Tersangka SAS juga dikenakan pasal pemberatan karena korbannya lebih dari satu orang.

Selain terancam hukuman mati atau seumur hidup, tersangka juga terancam pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.

Selain itu, SAS juga terancam dijerat dengan pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena tersangka merekam atau membuat video serta memotret para korbannya sebelum bahkan sesudah melaksanakan aksi bejatnya tersebut.

Untuk mencegah para korbannya melapor, SAS kemudian memvideokan dan memotret para korbannya, sebagai barang bukti sekaligus menjadi bahan pegangannya untuk mengancam para korban jika melapor akan disebar video dan foto-nya.

Kapolda NTT Irjen Pol Setyo Budiyanto berharap, dengan berbagai barang bukti yang ada, seharusnya sanksi yang diterima oleh tersangka SAS maksimal.

“Seharusnya bisa maksimal dengan barang bukti dan gelar perkara kasus itu,” ujar dia.

Kuasa hukum SAS, Amos Alekssander Lafu, mengatakan kliennya sudah diperiksa oleh penyidik Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Kepolisian Resor Alor. Calon pendeta itu juga sudah mengakui perbuatannya.

Berita Lainnya:
Pengamat Ingatkan Layanan "Lapor Mas Wapres" Jangan Hanya Gimik Politik

“Klien saya mengakui semua perbuatannya, dan mengaku punya trauma masa lalu yakni menjadi korban kekerasan seksual,” katanya dikonfirmasi dari Kupang, Selasa (13/9/2022) malam.

Amos menjelaskan, apa yang dialami oleh kliennya sejak kecil tersebut kemudian membentuk karakter SAS setelah beranjak dewasa. Amos menambahkan, pengakuannya itu dia sampaikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) saat dilakukan pemeriksaan oleh aparat kepolisian.

Baca juga:

Calon Pendeta Pelaku Kekerasan Seksual Pada 12 Anak Terancam Hukuman Mati

Namun, Amos tidak memberikan perincian kekerasan seksual seperti apa yang dialami oleh kliennya sejak kecil. Karena, katanya, hal itu akan masuk dalam materi persidangan.

Dia tidak ingin nanti kliennya dianggap oleh masyarakat berusaha membela diri dengan memberikan alasan punya trauma masa kecil.

Bupati Alor Amon Djobo berharap, kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan calon pendeta itu, tidak dikaitkan dengan Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Sebab, perbuatan SAS murni perbuatan pribadi.

“Masyarakat harus tahu bahwa GMIT menempatkan orang di suatu tempat, khususnya di Alor, untuk melayani umat gerejani di daerah ini bukan melakukan hal-hal tercela seperti yang sudah terjadi,” katanya saat dihubungi dari Kupang, Senin (12/9).

1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya