BANDA ACEH – Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) turut menyuarakan kesejahteraan kelompok tani yang dianggap kian termarginalkan.
Aspirasi itu disampaikan saat mengikuti aksi unjuk rasa di kawasan gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat dalam memperingati Hari Tani Nasional (HTN) 2022, Selasa (27/9/2022).
Sekretaris Nasional SPRI Dika Muhammad mengatakan, persoalan hidup kaum tani, buruh dan warga miskin kota memiliki akar masalah yang sama.
Ketiga kelompok itu, kata dia, merupakan korban dari para pemilik modal yang terus menerus mengakumulasi modal.
“Bila kaum tani dirampas sawahnya, buruh diperas keringat dan upahnya, kami kaum miskin kota disingkirkan hak-hak hidupnya,” ujarnya.
“Perjuangan ini adalah perjuangan untuk menuntut hak kepada negara yang telah abai mengurus kehidupan rakyatnya,” tambah Dika.
Menurutnya, ada tiga masalah pokok yang saat ini dihadapi oleh kaum tani Indonesia.
Pertama, mereka yang tidak memiliki tanah atau lahan kemudian menjadi buruh tani yang menjual tenaga kepada para pemilik tanah dengan upah yang rendah.
Kedua, mereka yang memiliki tanah dengan jumlah yang kecil, karena petani Indonesia rata-rata hanya memiliki lahan yang sempit rata-rata 0,5-2 hektar.
“Dengan kondisi lahan demikian dan ditambah dengan minimnya modal pertanian, serta teknologi yang tidak menunjang, tidak akan mencukupi kebutuhan sehari-hari,” ucapnya.
Ketiga, mayoritas kepemilikan lahan dikuasai oleh korporasi.
Hal ini bahkan telah dikonfirmasi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang menyatakan dari pemberian lahan dan akses atas 42 juta hektar hutan hingga tahun 2017, pemerintah telah mengalokasikan sekitar 95 persen untuk swasta, kemudian empat persen untuk warga masyarakat, dan sisanya untuk kepentingan publik.
Dika juga menyoroti persoalan kaum tani yang dihadapkan dengan minimnya alokasi anggaran negara untuk membiayai alat dan teknologi pertanian.
Rendahnya perhatian pemerintah berdampak pada rendahnya produktivitas hasil pertanian kaum tani, karena tidak disertai adanya jaminan dari pemerintah terhadap hasil produksi pertanian.
“Untuk itu, SPRI mendukung penuh langkah dan perjuangan kaum tani Indonesia,” ujarnya.
“Kita dihadapkan pada satu musuh bersama yang mesti kami lawan secara bersama yakni kapitalisme, neoliberalisme, dan imprealisme,” imbuhnya.
“Dalam delapan tahun berkuasa, Presiden telah gagal menjalankan reforma agraria sejati dan gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Jokowi lebih berpihak pada kepentingan oligarki dan anti terhadap rakyat,” lanjutnya.
Dalam aksi HTN tersebut, SPRI menyerukan kepada seluruh kaum tani dan rakyat Indonesia untuk terus bergerak dan mendesak pemerintah agar melakukan tiga hal.
Pertama, menyelesaikan sengketa agraria secara adil dan mengembalikan tanah milik petani, mengusut dan mengadili pelanggar HAM yang telah membunuh petani dan merampah hak hidup petani.
“Kemudian memberi kebebasan bagi petani untuk membentuk organisasinya sendiri, secara mandiri,” ucapnya.
Kedua, menghentikan semua paket liberalisasi di sektor pertanian.
Mulai dari liberalisasi terhadap penguasaan sumber-sumber daya alam seperti air dan tanah, liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian dan liberaliasi terhadap sektor-sektor industri yang mendukung pertanian seperti industri gas dan pupuk.
Ketiga, negara harus bertanggung jawab untuk melindungi pertanian nasional, dengan memberikan berbagai macam bentuk insentif, subsidi, pembangunan infrastruktu. Tujuannya untuk mendukung pertanian nasional, meningkatkan pengetahuan, teknik dan alat-alat pertanian sehingga tercipta produktivitas dan efisiensi.