Tragedi Kanjuruhan dan Rendahnya Budaya Malu Bangsa Kita
NASIONAL
NASIONAL

Tragedi Kanjuruhan dan Rendahnya Budaya Malu Bangsa Kita

image_pdfimage_print

Alumni ITB itu menyatakan diri bersalah dan mengundurkan diri akhir tahun 2015, karena terjadi kemacetan di mana-mana pada akhir tahun 2015. Dia tidak ingin menyalahkan anak buahnya, apalagi pelaksana jalan tol. Alumni ITB lainnya, Sigit Pramudito, juga mengundurkan diri pada waktu yang hampir bersamaan dengan Djoko itu. Sigit adalah eks dirjen pajak, dirjen yang jabatannya paling bergengsi di Indonesia. Sigit pun mengaku malu dan menyatakan mundur karena target penerimaan pajak tidak tercapai. Dia tidak ingin menyalahkan siapapun. Kedua alumni ITB itu, punya rasa malu, tentu sebuah anomali saat sekarang ini.

ADVERTISMENTS

Memang mengharapkan elit-elit negara yang mempunyai budaya malu sangatlah susah saat ini. Apalagi dalam situasi mengejar jabatan merupakan tujuan elit-elit bangsa dengan segala cara dan kasak kusuk. Belum lagi sogok menyogok dan bekerjasama dengan mafia atau oligarki dalam merebut jabatan-jabatan prestise.

Iwan Bule adalah contoh elite kita, dimana mengaku salah dan lalu mengundurkan diri sangatlah berat. Padahal salah di sini maksudnya, sekali lagi, bukan dalam pengertian hukum saja, melainkan utamanya moral atau kultur. Ini adalah cerminan resmi elit bangsa kita saat ini. Kekurangan rasa malu.

ADVERTISMENTS

Kepolisian sudah membuat 6 orang jadi tersangka. Termasuk direktur liga LIB. Pihak keamanan, polisi dan sekuriti pertandingan, tentu saja harus ada yang jadi tersangka, karena terjadi kekerasan dan kematian ketika mereka mengamankan wilayah itu.

Berita Lainnya:
Oknum TNI Diduga Terlibat Penyerangan terhadap Anggota Polres Tarakan, 5 Polisi Alami Luka Berat dan Ringan

Namun, penggunaan gas air mata untuk pertandingan bola, merupakan kejahatan besar. Orang-orang yang menonton bola tidak mengerti tentang itu, berbeda dengan mahasiswa dan buruh yang berdemonstrasi anti pemerintah. Kelompok mahasiswa ini biasanya menyiapkan diri dengan odol atau lainnya jika mereka memperkirakan ada gas air mata. Odol itu di oles di sekitar wajah. Itupun situasinya di daerah terbuka di mana mereka bisa melarikan diri.

ADVERTISMENTS

Oleh karenanya, secara niat atau perencanaan awal, suporter atau penonton pertandingan sudah diasumsikan sama dengan demonstran atau kelompok vandalis. Inilah kerusakan moral dari penyelenggara dan pihak aparatur negara. Ini sudah menjadi kultur kekerasan polisi yang buruk selama ini.

Oleh karenanya tidak heran berbagai LSM berdimensi hukum, seperti LBH, PBHI, dan lainnya menyerukan “Reformasi Kepolisian”. Isu Reformasi kepolisian ini memperkuat gema isu ini paska kasus Sambo. Rakyat Indonesia tidak terima dengan polisi yang kulturnya penuh kekerasan dan kurang cinta pada rakyat. Di sini pula letak tuntutan maaf Aremania terhadap Kapolri.

Pemberian sanksi pidana terhadap kelompok pelaksana teknis sebenarnya seperti hanya mencari kambing hitam saja, jika melihat magnitude persoalan ini, dan pandangan dunia internasional yang menunggu tunggu solusi. Presiden boleh jadi memerintahkan TGIPF, yang diketuai Mahfud MD, bekerja untuk mencari fakta, namun sebaiknya sebelum sanksi pidana terjadi, refleksi moral harus secepatnya dilakukan.

Berita Lainnya:
Ilmuwan Eksperimen Tempel 'Gen Bahasa' Manusia ke Tikus, Jadi Bisa Ngomong?

Harus ada pernyataan maaf yang diikutin dengan rasa bertanggung jawab, yakni mundur dari jabatannya, apakah itu Iwan Bule atau Kapolri. Jika tidak, maka kekecewaan rakyat akan terus membara.

Kita melihat Aremania dan Aremanita terkesan mulai mengapresiasi pentersangkaan 6 pihak dan permintaan maaf, namun secara keseluruhan masyarakat masih merindukan permohonan maaf pada level yang sangat tinggi dari penyelenggara persepakbolaan, yakni pimpinan PSSI ataupun pimpinan kepolisian. Ini penting sebagai simbolis moral dan rasa malu dalam skala yang diinginkan masyarakat kita dan dunia.

Penutup

Somasi Aremania terhadap presiden, Kapolri, Ketum PSSI dan lainnya mempunyai landasan moral penting untuk kita dukung. Tentu saja somasi ini mewakili perasaan masyarakat kita semua. Karena terjadi pembantaian manusia dengan sadis di Kanjuruhan, yang dilakukan oleh aparat negara.

Bangsa ini perlu belajar budaya malu, maksudnya elite bangsa, khususnya yang berkuasa. Jangan membiarkan bangsa ini terbiasa mencari kambing hitam.

Dalam kacamata sosiologi, “shame culture” merupakan spirit bangsa Asia, baik Korea, Jepang, China dan juga harusnya Indonesia. Budaya Jawa, “Wedi Wirang, Wani Mati” (Lebih baik mati daripada malu) sudah lama hilang, meski mungkin tidak sepenuhnya.

1 2 3

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

ADVERTISMENTS