ACEH

Mantan Anggota Juru Runding MoU Helsinki Luruskan Persepsi Masyarakat Terkait Lembaga Wali Nanggroe

BANDA ACEH – Mantan anggota juru runding MoU Helsinki, Munawar Liza Zainal, meluruskan persepsi masyarakat selama ini terkait Lembaga Wali Nanggroe (LWN). Menurutnya, apa yang menjadi persepsi masyarakat selama ini dinilai keliru.

Munawar mengatakan, saat perundingan MoU Helsinki, ada dua pihak yang sejajar yakni Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mewakili rakyat Aceh kemudian Pemerintah Republik Indonesia.

“Waktu itu seolah-olah kita itu melakukan perundingan dengan RI, seolah-olah kita sebuah pemerintahan ataupun pengasingan, semacam negara bagi Aceh, sehingga kita tandatangani perjanjian itu,” kata Munawar Liza dalam FGD dengan tema Kelembagaan Wali Naggroe dalam Kekhususan Aceh, di Kyriad Muraya Hotel, Banda Aceh, Sabtu (15/10/2022).

Menurut Munawar, dalam perjalannya setelah MoU ditandatangani, ada upaya dari Internasional dan RI bahwa setelah damai, maka GAM itu hilang dan berubah jadi institusi-institusi di Aceh.

“Sedangkan pada prinsipnya, GAM itu sebenarnya sebagai signatori, dia masih ada, sebagai lembaga masih ada. Cuma GAM pasca MoU tidak punya senjata, GAM tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan,” ujar Bekas Wali Kota Sabang ini.

Kondisi inilah, kata dia, banyak masyarakat Aceh yang berpikir bahwa setelah perundingan, GAM berubah jadi Komite Peralihan Aceh (KPA), setelah itu berubah jadi Partai Aceh (PA), sehingga banyak yang merasa PA itu adalah GAM.

Menurutnya, GAM saat itu adalah sebuah rumah besar, kemudian untuk bertempurnya mantan kombatan GAM masuk organisasi yang namanya transisi, KPA. Kemudian GAM membentuk parpol yaitu PA, jadi GAM tidak melebur menjadi PA, tapi GAM itu membentuk parpol bernama PA.

Selama ini ada pemikiran-pemikiran bahwa GAM sudah bertransformasi ke PA, sehingga lembaga-lembaga keistimawaan yang dibentuk kemudian itu banyak yang memang diasosiasikan sepertinya seolah-olah punya PA.

“Ini sebenarnya harus kita luruskan kembali, karena kita sayang kepada PA, cinta kepada PA dan partai-partai lain. Tapi maksudnya harus ada batasan bahwa PA itu bukan GAM, tetapi parpol yang dibentuk oleh GAM yang meneruskan ideologi-ideologi atau perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh GAM,” jelasnya.

Jika hal ini tidak dilakukan, kata dia, maka lembaga-lembaga keistimewamaan yang terbentuk, termasuk LWN, terpengaruh oleh hal ini, sehingga oleh sebagian rakyat Aceh dirasakan bukan milik PA.

“Kita melihat misalnya Wali Nanggroe menjadi tuha peut PA, jadi partai-partai lainkan karena menganggap WN orang tua kita di seluruh Aceh, ayah dari semua parpol di Aceh, berarti maksdunya kan harus independen dan bebas dari ikatan parpol,” tutupnya.[]


Reaksi & Komentar

Berita Lainnya