BANDA ACEH -Permintaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang diklaim Presiden Joko Widodo kini mengalami peningkatan, dikritisi Komisi Nasional (Komnas) Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-KPK).
Wakil Sekjen 1 Komnas LP-KPK Amri Piliang mengatakan, Presiden Jokowi sepertinya kurang mendapat banyak informasi soal tata kelola PMI di luar negeri, khususnya dalam skema private to private (P to P) dan business to business (B to B).
Amri ingin Jokowi mengetahui bahwa penempatan dengan skema P to P dan B to B hingga saat ini masih terjadi stagnasi dan diskriminasi terhadap 10 jenis Jabatan tertentu. Padahal, seharusnya semua jabatan dibebaskan dari biaya penempatan PMI.
“Kasihan para pekerja migran ini. Mereka masih mendapat pembebanan biaya penempatan senilai Rp 17 jutaan belum termasuk biaya Pelatihan dan Uji kompetensi senilai Rp 7 jutaan melalui pinjaman pihak ketiga,” ujar Amri dalam keterangannya, Selasa (18/10).
Amri menegaskan persoalan yang membebani PMI adalah pembebanan biaya penempatan dan penjeratan hutang melalui Kepka BP2MI 328/2022 yang bertentangan dengan UU 18/2017 Pasal 30 dan Perka BP2MI 09/2020.
Menurutnya, saat ini terjadi praktik penjeratan hutang berkedok kredit usaha rakyat (KUR) PMI dan praktik PMI pura-pura bayar lunas di muka sebagaimana tertuang dalam Surat Pernyataan Biaya dan Gaji (SPBG).
“Akibatnya, para pekerja migrain ini harus dipotong gajinya selama 9 sampai 10 bulan. Kira-kira sekitar Rp 63 juta,” sambungnya.
Amri memberikan contoh terkait penempatan PMI tujuan Korea Selatan dengan skema G to G yang ditempatkan oleh BP2MI. Yang mana ia mendapati di Korsel tingkat pekerja migran yang melarikan diri sangat tinggi karena beratnya potongan gaji.
“Saat mereka kabur, mereka akan menjadi PMI ilegal. Kenapa mereka kabur? Karena tingginya beban biaya penempatan dan pelatihan yang harus dikeluarkan oleh PMI kepada pembaga pelatihan/LPK untuk penempatan ke Korea Selatan melalui skema G to G oleh BP2MI,” urai Amri.
“Setiap PMI harus memeras keringatnya untuk membayar penjeratan hutang berkedok KUR/KTA PMI,” tambahnya menegaskan.
Pada akhirnya, lanjut Amri, KUR yang didapatkan para PMI tak terbayar sehingga terjadi kredit macet dan berimbas pada Non Performing Loan (NPL) yang mencapai 10 persen. Selain itu akibatnya, bank penyalur KUR BNI menghentikan sementara fasilitas KUR/KTA PMI.
Dia memandang ini sebagai kesalahan kebijakan dan aturan Kepala BP2MI yang sebenarnya sudah terungkap saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR dengan BP2MI dan Kementerian Tenaga Kerja pada 8 Juni 2022.
Dalam RDP tersebut, DPR mendesak kepala BP2MI untuk membatalkan seluruh keputusan kepala badan yang memuat struktur biaya sehingga sesuai dengan perundangan.
“Ini yang belarut-larut. Kepala BP2MI malah kembali menerbitkan keputusan 328/2022 yang membebankan biaya penempatan 100 persen kepada PMI dan penjeratan hutang,” demikian Amri.
Presiden Jokowi menyampaikan terkait peningkatan permintaan PMI saat memberikan sambutan dalam acara Pelepasan PMI ke negara tujuan Korea Selatan, di Hotel El Royale, Jakarta Pusat, Senin (17/10).
“Saya senang ini akan banyak lagi private-to-private, B to B yang permintaannya juga banyak. Ini juga kalau tidak disiapkan. Ini sebuah keterampilan yang tidak mudah,” ujarnya.
Menurut Jokowi ini tugas besar bagi Menteri Tenaga Kerja dan Kepala BP2MI untuk menyiapkan pekerja-pekerja terampil dengan skill tinggi.
Presiden Jokowi menjelaskan, saat ini total PMI yang bekerja di luar negeri mencapai sembilan juta orang. Sayangnya baru setengah dari jumlah tersebut merupakan pekerja legal secara hukum.