BANDA ACEH – Ada loh, orang-orang, laki-laki dan perempuan, dari kelompok usia dewasa, yang terlihat tenang-tenang saja melajang. Masih suka dengan lawan jenis, sih. Namun untuk menikah, nanti dulu.
“Memang benar saat ini ada banyak orang yang kurang berhasrat untuk menikah. Tak berarti mereka ini masuk ke golongan non-heteroseksual. Bisa saja tetap tertarik dengan lawan jenis, hanya saja malas berkomitmen dalam pernikahan,” buka Anna Surti Ariani, psikolog keluarga dan anak.
foto ilustrasi malas menikah
Mengapa bisa hasrat menikah pada orang-orang ini kurang, Nina–sapaan akrab psikolog yang juga aktif membahas masalah-masalah pranikah–menyebutkan beberapa alasan.
Misalnya, ingin mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, ingin melayani keluarga (mungkin ibunya sakit keras dan tidak ada anak lain yang bisa merawat kecuali dia), ingin berkarier setinggi-tingginya, tidak ingin punya anak, tidak mau berbagi dengan orang lain, tidak mau disibukkan dengan berbagai urusan keluarga, menganggap diri belum siap tanpa menetapkan target yang jelas siap itu seperti apa, dan trauma terhadap pernikahan orang tua atau kenalannya.
Walau ada juga orang yang hasrat menikahnya kurang disebabkan adanya hal-hal lain yang lebih menyenangkan dan dianggap mampu memenuhi kebutuhannya. Hal-hal yang dianggap mengalahkan hasrat menikah.
“Jadi, secara umum, mereka yang usianya 20 atau 30-an, punya kebutuhan intimacy. Maksudnya, kebutuhan untuk merasa dekat dengan orang lain,” ungkap Nina.
“Orang lain ini biasanya pasangan, namun tidak selalu. Bisa saja teman sekantor, teman satu kegiatan, teman komunitas, dan lain-lain. Nah, jika kebutuhan intimacy sudah terpenuhi dari situ, ditambah sikap terhadap pernikahan yang kurang positif (faktor-faktor alasan malas menikah), maka bisa saja seseorang kurang butuh menikah atau pernikahan yang jelas menuntut komitmen lebih,” terangnya lebih lanjut.
Menurut Nina, pernikahan itu pilihan, bukan keharusan. Namun fungsinya tidak dapat digantikan. Ada pembelajaran-pembelajaran yang hanya bisa dialami lewat pernikahan.
“Contoh pembelajaran, mencoba mencocokkan diri dengan kebutuhan pasangan, padahal pasangan adalah manusia yang bisa saja kebutuhannya berganti-ganti,” ujar Nina yang kicauannya bisa disimak @twitpranikah.
“Tapi, walaupun tidak bisa digantikan, sekali lagi, tak berarti semua orang harus menikah. Karena bisa saja orang tersebut memang tidak membutuhkan pembelajaran semacam itu,” lanjutnya.
Akan tetapi, bukan berarti seseorang yang sudah menikah, apalagi kalau sudah ada anak hadir dalam pernikahan itu, kemudian bisa memilih kembali tidak menikah alias bercerai.
“Oleh karena itu, pernikahan sudah semestinya direncanakan dan dipersiapkan. Bukan hanya pestanya, namun termasuk persiapan mental setelah menikah nanti. Ada cukup banyak waktu untuk saling mengenal satu sama lain saat masih pacaran. Bila perlu, sering bertengkar lalu selesaikan sebagai ajang latihan agar sungguh siap menikah,” papar Nina yang praktik di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI, Depok.
Membangkitkan Hasrat Menikah
“Selalu ada harapan, karena kondisi malas menikah ini kan bukan sesuatu yang stuck, selamanya malas nikah,” bilang Nina.
Ketahui penyebabnya. Jika penyebabnya sudah diketahui, dan ia menyadari, maka orang-orang terdekat bisa membantu memunculkan kembali hasrat menikah.
Contoh, seseorang tidak berniat menikah karena merasa tanggung jawab merawat orang tua yang sakit ada padanya. Maka ketika ia yakin bahwa ada orang lain yang juga mau merawat orang taunya itu, ia bisa berbagi. “Maka ia bisa memikirkan untuk menikah,” kata Nina.
Jika penyebabnya trauma pada pernikahan orang lain, maka dibutuhkan penanganan psikologis yang cukup intensif.
Sumber: Tabloidbintang