BANDA ACEH –Pegiat media sosial Heri Suwondo menyoroti soal Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyebutkan, tren kenaikan kasus Covid-19 puncaknya paling lambat awal Januari 2023.
Hal itu ditanggapi Heri Suwondo dalam akun Twitter pribadi miliknya. Dalam cuitannya, Heri Suwondo mengatakan bahwa hal itu seakan ajaib.
Heri Suwondo juga mempertanyakan soal tren kenaikan kasus Covid-19 sebelumnya yakni di bulan Desember 2022.
“Menkes Sebut Puncak Kenaikan Kasus Covid-19 Paling Lambat Januari 2023. Ajaib benar penyakit bisa mereka prediksi. Gak jadi Desember?,” ujar Heri Suwondo melalui akun Twitter pribadi miliknya, Kamis (10/11).
“Takut sama perayaan Natal & Tahun Baru ya? Kalau pas Puasa & Lebaran, pasti tepat, gak maju gak mundur. Pertanyaannya mengapa bisa bgt mas Covid?,” tandas Heri Suwondo.
Menkes Sebut Puncak Kenaikan Kasus Covid-19 Paling Lambat Januari 2023. Ajaib benar penyakit bisa mereka prediksi. Gak jadi Desember? Takut sama perayaan Natal & Tahun Baru ya? Kalau pas Puasa & Lebaran, pasti tepat, gak maju gak mundur. Pertanyaannya mengapa bisa bgt mas Covid?
— Heri Suwondo (@HeriSuwondo2) November 9, 2022 Sementara itu, pernyataan dari Budi Gunadi soal tren kasus Covid-19 puncaknya terjadi di awal Januari 2023 lantaran pengaruh sejumlah subvarian terbaru omicron di Indonesia.
“Dugaan kami, karena ini mulai terjadi (peningkatan), mungkin paling lambat dalam 1,5 bulan puncaknya kita capai. Saya rasa di Desember 2022 atau paling lambat Januari 2023 puncaknya bisa kita lihat,” tutur Budi Gunadi.
Ia mengatakan, subvarian terbaru omicron penyebab kenaikan gelombang Covid-19 di dunia saat ini adalah BA.2.75. Yang terbanyak terjadi di India, XBB paling banyak di Singapura, dan BQ.1 yang dominan di Eropa dan Amerika Serikat.
“Contohnya, subvarian XBB sempat membawa kasus per hari sampai 8.500 di Singapura. Sebagai perbandingan di Indonesia sekarang, sekitar 5.000-an kasus,” papar Budi Gunadi.
Subvarian XBB yang diamati di Singapura, kata Budi, memiliki ciri peningkatan kasus yang cepat. Tapi tren penurunan angka kasusnya cepat bila dibandingkan subvarian omicron lainnya.
“Sekarang Singapura sudah turun kembali kasusnya di bawah 4.000-an dan puncaknya lebih rendah dari BA.4 dan BA.5,” ujarnya.
Ciri selanjutnya dari XBB, kata Budi Gunadi, puncak kasus diperkirakan mendekati situasi subvarian BA.4 dan BA.5, tetapi di bawah situasi puncak BA.1 atau BA.2. Dominasi kasus subvarian Omicron BA.1 dan BA.2 terjadi di Indonesia pada Januari dan Februari 2022, sedangkan BA.4 dan BA.5 terjadi pada Juli dan Agustus 2022.
“Jadi memang siklusnya terjadi setiap enam bulanan sekali. XBB ini mirip dengan BA.4 dan BA.5 tapi di bawah BA.1 dan BA.2,” tandasnya.