BANDA ACEH – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, ada temuan perbedaan antara data bawaan uang tunai melintasi batas negara (Cross Border Cash Carrying) atau CBCC dengan aplikasi Passenger Risk Management (PRM).
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana, mengestimasikan ada sekitar ratusan triliun yang masuk ke dalam Indonesia namun tidak dilaporkan.
“Potensi uang masuk kalau dirata-ratakan ada Rp 12 triliun di tahun 2018, dan sekitar Rp 3 triliun pada tahun 2019,” ujar Ivan dalam Diseminasi Kebijakan dan Regulasi Pembawaan Uang Tunai PPATK virtual, Rabu (23/11).
Ivan mengatakan, ada satu orang yang melaporkan uang masuk dari luar negeri ke Indonesia yang tercatat sebanyak empat kali. Namun demikian, saat data tersebut dicek ulang di PRM, ternyata orang itu masuk sebanyak 154 kali di Indonesia.
“4 kali dilaporkan nilainya Rp 66 miliar. Kita rata-rata dan asumsi, mereka keluar tidak mungkin tidak dalam kerangka membawa uang. Kalau Rp 66 miliar dibagi 4, sekali tenteng Rp 15 miliar, ada bolong 150 kali dia tidak melaporkan,” katanya.
Untuk menghitung pembawaan uang tunai yang tidak dilaporkan, Ivan menyebut uang yang dibawa sekali sebesar Rp 15 miliar dikalikan dengan 150 kali kedatangan. Artinya, potensi uang yang dibawa masuk ke Indonesia yang tidak dilaporkan menembus Rp 225 triliun.
“CBCC yang PPATK terima itu angkanya, frekuensinya itu jauh di bawah angka PRM-nya,” imbuhnya.
Menurut Ivan, uang triliunan tersebut dapat dimanfaatkan untuk praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme. PPATK mengeluarkan Peraturan PPATK Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaporan Pembawaan Uang Tunai dan/atau Instrumen Pembayaran Lain ke Dalam atau ke Luar Daerah Pabean Indonesia.