Ganjar Dianggap Pewaris Jokowi, Refly: Bukan Model Kepemimpinan yang Merangkul

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto
image_pdfimage_print

BANDA ACEH – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyoroti soal Gubernur Jawa Tenga Ganjar Pranowo yang disebut-sebut bakal maju di Pilpres 2024 usai pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

ADVERTISEMENTS
ad40

Hal itu ditanggapi Refly Harun melalui tayangan di channel YouTube pribadi miliknya. Dalam tayangan itu, Refly Harun menyinggung soal kebijakan Jokowi terkait pembangunan Light Rail Transit (LRT).

ADVERTISEMENTS

Refly Harun juga kerap menyinggung soal transportasi tersebut yang hanya untuk satu jalur saja tidak bisa bercabang kemana-mana.

ADVERTISEMENTS

“Kalau kita kan cuman one way aja. Lurus begitu, gimana orang mau naik kereta. Termasuk juga kita harus lihat MRT misalnya kan hanya dari Lebak Bulus, tidak melingkari kota Jakarta,” ujar Refly Harun melalui tayangan di channel YouTube pribadi miliknya, Kamis (24/11).

“Kalau melingkari kota Jakarta, dimana-mana kita temukan MRT, ngapain kita naik kendaraan lain. Rumah saya di daerah Kebon Jeruk ini yang enggak dilampahi atau dilewati MRT, jadi enggak bisa juga saya naik MRT terpaksa mengandalkan mobil,” lanjutnya.

Terkait hal itu, Refly Harun juga mengungkapkan soal Ganjar Pranowo yang disebut jadi pewaris dari Jokowi.

“Kita spending more money untuk menggantikan mode transportasi but it doesn’t happen. Itu masalahnya. Karena itu Kalau seandainya kemudian Ganjar dianggap pewaris atau Legacy dari Presiden Jokowi, bagi saya maaf-maaf saja,” ungkap Refly Harun.

“Bukan karena tidak suka. Jadi kita harus bedakan antara tidak suka dengan melihat prospek orangnya. Apakah iya model kepemimpinan begini yang dibutuhkan untuk 2024,” tambahnya.

Refly Harun menilai, pemimpin model Ganjar Pranowo seakan tidak termasuk dalam kriteria pemimpin yang merangkul jika adanya perbedaan pendapat.

“Karena saya berpikir, kalau model kepemimpinan yang begini sudah terlihat bukan model kepemimpinan yang terbesar hati untuk merangkul mereka yang berbeda pendapat. Justru sebaliknya tidak mau membuka dialog, misalnya sama Habib Rizieq. Kalau Presidennya berbesar hati, mudah sekali undang saja dialog ke istana atau kita hormati, Umar datang,” paparnya.

“Apakah seorang presiden datang ke ulama itu sebagai umara itu salah, enggak juga. Enggak keliru. Jadi kalau Umara datang ke ulama enggak keliru justru ulama yang datang ke istana itu yang kadang-kadang justru tidak membawa kebaikan apa-apa,” imbuh Refly Harun.

Exit mobile version