ACEH

Kontrak Kerja Sama PT PEMA ‘Blok B’ Aceh Diduga Cacat Hukum dan Ilegal, CIC: KPK Harus Segera Periksa Mereka!

BANDA ACEH – Setelah Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian ESDM menyerahkan naskah asli Kontrak Kerja Sama Migas Wilayah Kerja “B” kepada Pemerintah Aceh. Pengelolaan Migas Wilayah Kerja “B” atau “Blok B” yang kemudian dilimpahkan kepada perusahaan daerah (PT PEMA) ini diharapkan akan menjadi pengerak ekonomi baru bagi masyarakat Aceh. Demikian yang disampaikan Ketua Harian Corruption Investigation Committee (CIC) Provinsi Aceh Sulaiman Datu kepada HARIANCEH.co.id, Minggu petang kemarin (19/2/2023) di Banda Aceh melanjuti pembahasan tentang dugaan ilegalnya jabatan Plt Dirut PT PEMA Zubir Sahim dan jabatan Direktur Utama PT. Pembangunan Aceh (PEMA) Ali Mulyagusdin di akhir masa jabatan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.

Provinsi Aceh, kata Sulaiman Datu mendapatkan dana Otonomi Khusus (Otsus) pasca perdamaian MoU Helsinki dengan ceceran darah masyarakat Aceh. Hal itu bisa dirasakan dan dilihat dari perjalanan sejarah Provinsi Aceh selama puluhan tahun setidaknya 32 tahun berjibaku dalam kondisi terjepit serta terpuruk akibat konflik penguasaan blok migas antara Pemerintah Orde Baru yang dipimpin Soeharto dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang digawangi oleh Tengku Hasan Di Tiro.

“Singkat ceritanya sejarah konflik di Provinsi Aceh adalah soal penguasaan blok migas Arun Lhokseumawe yang saat itu Provinsi paling ujung Republik Indonesia ini dikenal menjadi kawasan Petrodolar, Booming Oil!, akibat blok migas itu pula, selain konflik penguasaan industri hulu itu, bahkan juga terjadi disparitas status ekonomi masyarakat yang sangat mendalam di Bumi Rencong kala itu, putra-putri Aceh dinilai tidak mampu dengan dalih keterbasan SDM dan kemudian Pemerintah RI mendatangkan orang-orang dari luar Aceh, ditambah lagi soal pembagian hasil deviden migas yang jomplang antara Aceh dan Jakarta. Akibat rangkaian hal-hal itu, maka bangkitlah pergerakan melawan pemerintah Republik Indonesia yang kita kenal dengan Aceh Merdeka,” sebut Sulaiman Datu awali pembicaraan dengan HARIANACEH.co.id menyambung cerita sebelumnya.

Baca Berita Sebelumnya: 

Mengacu Kepada Qanun No 16 Tahun 2017, CIC Aceh: Direktur Utama PT PEMA Cacat Hukum dan Ilegal

Dengan hadirnya industri hulu blok migas Arun Lhokseumawe itu, sambung Sulaiman Datu. Maka, di kemudian waktu muncul pula industri-industri hilir lainnya seperti PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM), PT. ASEAN Aceh Fertilizer (AFF) dan kemudian disusul juga dengan munculnya PT. Kertas Kraft Aceh (KKA) yang saat itu Presiden Joko Widodo juga ikut pernah bekerja di sana.

“Kesenjangan makin menjadi-jadi ketika muncul di kemudian waktu, industri-industri hilir lainnya. Bahkan yang terhormat Bapak Presiden Joko Widodo juga pernah ikut bekerja di PT. KKA,” ucap Sulaiman Datu mengingat kembali keadaan di era tahun 80 dan 90-an.   

Pendirian BPMA

Back to the topic (kita kembali ke topik) soal Pengelolaan Blok B,” ajak Sulaiman Datu.

Singkat cerita, timpal Ketua Harian CIC Aceh itu. Kemasan dan ramuan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU PA) Nomor 11 tahun 2006 sebenarnya adalah usaha para tokoh-tokoh agama, cendikia, pemuda dan tokoh politik berembuk satu meja di Provinsi Aceh untuk mengeluarkan Provinsi Aceh dari keterpurukan yang sudah mengkristal. Ditambah juga dengan terjadinya bencana alam tsunami yang juga telah meluluh-lantakkan segala sektor dan sendi kehidupan masyarakat Aceh.

Jadi, kata Sulaiman Datu. UU PA itu adalah manifesto masyarakat Aceh yang juga menjadi salah satu upaya masyarakat Aceh tidak lagi tertinggal dari masyarakat-masyarakat di provinsi lainnya. UU PA juga diharapkan menjadikan Aceh bangkit kembali dari mati surinya akibat konflik. 

“Terkesan saat itu adalah era dan lembaran baru bagi kehidupan masyarakat Aceh ke depan, Alhamdulillah! kita bersyukur,” kata Sulaiman Datu.

Singkat cerita lagi, kata dia. Muncullah Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) itu. 

Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) adalah Badan Pemerintah di bawah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan bertanggungjawab kepada Gubernur dan Menteri ESDM yang mempunyai tugas melakukan pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan terhadap kontrak kerja sama kegiatan usaha hulu agar pengelolaan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara dan khususnya bagi kemakmuran rakyat Aceh.

1 2 3 4

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya