IN-DEPTH

KPK di Mata Rakyat Aceh

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menjadi peluang segar yang dinilai oleh oknum pejabat sebagai salah satu celah mudah yang dapat diakali untuk menghimpun harta kekayaan yang berasal dari dana otsus Aceh. Bertahun-tahun oknum-oknum pejabat di Aceh diduga berusaha merampok uang rakyat dengan caranya masing-masing, oknum-oknum pejabat di Aceh bak jadi Blood Sucker (baca: penghisap darah, -red) alias Dracula.

“Di Aceh tidak ada industri besar yang saling bersaing, kalaupun ada juga ikut disikat sama oknum-oknum, sebut saja seperti PDPA yang merengkarnasi dirinya menjadi PT PEMA. Korupsi, Kolusi, Nepotisme kesannya memang tidak bisa hilang dari tubuh oknum-oknum orang Aceh. Kalau nggak korupsi ya kolusi, kalau nggak kolusi ya nepotisme, kalau nggak nepotisme ya balik lagi ke korupsi. Tepuk jidat kita melihat itu semua. Berputar-putar di wilayah itu saja. Salah satu celah korupsi yang gampang dilakukan ya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu,” ucap Sulaiman Datu.

Pertumbuhan Ekonomi di Aceh, kata Sulaiman Datu. Agar Ekonomi Aceh surplus dan mampu mensejahterakan rakyat Aceh akan sulit untuk dicapai jika KPK tidak memberi perhatian khusus terhadap Aceh. APBA di Aceh dananya Otonomi Khusus alias Otsus, tapi pengawasan hukumnya tidak khusus. Jadi, sambungnya lagi sulit untuk memakmurkan rakyat Aceh jadinya.

“Untuk menyembunyikan hasil korupsi saat ini sepertinya sangat mudah sekali, setidaknya yaitu dengan cara mencuci uang hasil korupsi itu. Hasil yang dikorup dijadikan barang bergerak atau tidak bergerak atas nama orang lain atau dijadikan barang-barang mewah yang sulit untuk ditelusuri kecuali mungkin dengan menggunakan sistem tracking-nya PPATK,” sebut Sulaiman Datu.

Keberadaan KPK di Mata Rakyat Aceh

Jika pusat benar-benar punya political will, kata Sulaiman Datu. Seharusnya Pemerintah Pusat harus menaruh perwakilannya di Aceh dan Papua. Pasalnya, dua Provinsi ini memperoleh Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang diletakkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Maka, kata dia treatment-nya juga harus khusus dalam rangka menjaga dana otsus itu agar tidak dirampok.

“APBD misalnya, kalau di Aceh ABPA sebutannya, postur anggaran ini jadi incaran para oknum-oknum pejabat. Baik oknum pejabat maupun oknum-oknum mitra mereka dengan landasan nepotisme dan kolusi, mereka hisap semua anggaran itu seperti layaknya Dracula menghisap darah mangsanya. Hasil korupsi itu mereka tampung di kantong-kantong penyembunyian dan mereka sembunyikan dengan cara menyimpannya dalam bentuk apapun dengan mengatasnamakan istri, anak dan keluarga dan bahkan sempat juga mereka sembunyikan di luar negeri dalam berbagai bentuk,” ketus Sulaiman Datu.

Jadi, kata dia lagi. KPK jangan hanya jadi Kilang Padi Keliling (KPK) yang setelah menggiling padi warga, kemudian cabut dari Aceh karena dianggap sudah selesai jasa penggilingannya itu dan pemilik padi sudah boleh langsung memasak nasinya. Dan jangan pula sampai dianggap oleh warga Aceh, KPK itu sudah selesai periksa-periksa orang di Aceh, kemudian main cabut saja tanpa ada kelanjutan apapun setelahnya.

“Setidaknya kesan itulah yang tertanam di pikiran rakyat Aceh saat ini. KPK itu ibarat Kilang Padi Keliling. Tidak ada lanjutan penegakan hukum yang terukur dan professional di Bumi Serambi Mekkah. Maka, wajar saja kalau perampokan di Aceh itu sangat mudah dilakukan dan bahkan ada yang sempat DPO puluhan tahun dan baru tertangkap beberapa pekan lalu, inikan makin bikin kita distrust sama KPK,” ketus Sulaiman Datu.

Ketua KPK di Aceh

Beberapa hari ini, Ketua KPK Firli Bahuri mengunjungi Provinsi Aceh dalam rangka memberikan kuliah umum. Salah satunya di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Di hadapan civitas akademika UIN Ar-Raniry, Firli bahkan menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan serius (Extraordinary Crime). Di mana akibat korupsi, negara gagal dalam mewujudkan tujuan negara itu sendiri dan pada akhirnya berdampak pada susahnya kehidupan masyarakat.

“Secara teori, terjadinya korupsi dipengaruhi beberapa hal. Mengutip Gone Theory, korupsi terjadi karena adanya keserakahan, kesempatan, kebutuhan dan hukuman pada pelaku korupsi yang rendah. Ironisnya, korupsi bisa melibatkan siapa saja ketika ada kekuasaan, kesempatan dan kurangnya integritas,” sebut Sulaiman Datu menirukan ucapan Firli Bahuri saat mengisi kuliah umum di Aula gedung Pascasarjana UIN Ar-Raniry pada Rabu kemarin (15/3/2023) yang ia kutip dari pemberitaan HARIANACEH.co.id.

1 2 3 4

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya