Tulisan ini mengurai sebuah drama yang terjadi dalam politik sepak bola Indonesia.
FEDERASI Sepak Bola Dunia (FIFA) resmi mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Hal ini disampaikan oleh FIFA melalui pernyataan resmi mereka beberapa hari silam. Dalam pernyataannya, FIFA menilai negeri ini belum siap menggelar turnamen sekelas Piala Dunia terutama setelah Tragedi Kanjuruhan pada awal Oktober tahun lalu. Merespon hal tersebut pelatih Timnas Jepang U-20, Koichi Togashi, membuat komentar yang menohok dengan menyebut bahwa sepak bola Indonesia memang terlalu banyak dramanya. Demikian sebagaimana diberitakan oleh Japantimes.co.jp yang tayang pada tanggal 1 April 2023.
Apa yang disampaikan Koichi memang tak ada salahnya. Melihat sepak terjang kebijakan persepakbolaan nasional yang memang harus diakui dengan jujur dipenuhi oleh berbagai drama. Drama yang paling kolosal adalah ketika penguasa republik ini menyampaikan agar jangan mencampur adukkan antara politik dengan olahraga. Nyatanya kemudian terbukti bahwa perhelatan Piala Dunia U-20 yang sepenuhnya gagal di Indonesia disebabkan karena aksi campur aduk politik olahraga.
Mari kita urai drama politik bola ini. Diawali oleh penolakan dua orang kepala daerah dari partai berkuasa PDIP, yaitu Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Penolakan tersebut disebabkan Piala Dunia U-20 diklaim berpotensi menjadi ancaman dan gangguan keamanan baik ancaman terbuka maupun tertutup. Bagi Koster penolakan itu penting karena Bali masih dalam upaya pemulihan perekonomian dan pariwisata pasca hantaman pandemi. Lha, drama masih lanjut karena sikap Koster menolak atlet-atlet Israel yang akan bertanding dalam World Beach Game yang juga akan di helat di Bali, tarik ulur dengan sikap Menpora.
Sedangkan Ganjar menolak Timnas Israel karena melaksanakan amanat founding father bangsa ini yang disuarakan dalam Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non Blok, maupun dalam Conference of the New Emerging Forces. Lha, meski sudah jelas pandangan Bung Karno, ditambah dengan fakta konstitusi negara ini yang mengharamkan penjajahan, namun pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai konstitusi yang mengutuk penjajahan tidak serta merta menyebabkan Indonesia berlaku tidak adil terhadap Timnas Israel dengan menolak mereka. Sekali lagi, olah raga tidak boleh dicampuri oleh politik.
Kita menyaksikan bagaimana drama ini dimainkan cukup apik untuk meraih simpati umat Islam demi melenggang ke kontestasi 2024 melalui isu-isu pembelaan kepada Palestina dengan penolakan terhadap Timnas Israel. Disisi lain umat Islam di jadikan kambing hitam atas pembatalan Piala Dunia U-20.
Drama berikutnya dilanjutkan dengan sikap Erick Thohir yang bak pahlawan melobi FIFA hingga ke Doha, Eh ternyata surat pembatalan dari FIFA tiba di tangan Presiden. Ini bukan lagi mencampur olah raga dengan politik namun sudah diulek sekalian. Belum selesai sampai disitu drama berlanjut dengan sikap Presiden yang enggan mengungkapkan isi surat pembatalan. Menurutnya, isi surat tersebut tidak bisa ia jelaskan.
Akhirnya drama ini ditutup sempurna dengan cuitan akun Twitter Rob Harris, wartawan olahraga berkebangsaan Inggris yang merupakan penulis isu olah raga global untuk Associated Press, MSNBC dan Sky News. Menurutnya, Piala Dunia U-20 batal karena venue tidak siap. Jadi Indonesia sejak awal tidak siap infrastruktur saat site visit ke venue-venue di Indonesia. Padahal Indonesia telah menghabiskan Rp 1,4 triliun untuk persiapan nyatanya hingga jadwal site visit belum siap juga untuk menggelar event ini. Untuk itulah drama demi drama dimainkan.
Nah, kemudian sanksi apa yang diberikan FIFA untuk Indonesia? Ternyata drama lagi, ‘sanksi kartu kuning’ doang ternyata, alias sanksi administrasi dengan pembekuan dana FIFA Forward untuk operasional PSSI. Ya sudahlah, sudah didanai masih disitu-situ saja.
Pertarungan Ideologi
Cukup menggelikan memang, kita dipaksa mengunyah jargon ‘jangan campuri olah raga dengan politik.’ Logika kita dibuat jungkir balik memikirkan hal ini. Realitasnya perhelatan piala dunia itu sendiri tidak terlepas dari partisipasi politik bahkan justru sepenuhnya berangkat dari politik ekonomi kapitalisme.
Federation Internationale de football Assocaiation atau FIFA adalah wadah tempat para penjudi global meraup pendapatan fantastis melalui perputaran uang di Piala Dunia. Pada Piala Dunia 2022 keuntungan FIFA bahkan melampaui gelaran sepak bola terbesar di dunia di Rusia tahun 2018 silam. Laporan resmi FIFA menyebut, pada Piala Dunia Qatar 2022 FIFA mendapat dana sponsor tambahan yang menyentuh angka USD 7,5 miliar atau sekitar Rp 117 triliun (asumsi kurs Rp 15.696/dolar AS). Dengan dana tersebut, FIFA ditaksir meraup keuntungan bersih sebesar USD 1 miliar (sekitar 15,7 triliun).
Jika kita menelisik lebih dalam, kekuatan politik global mencengkram setiap inci perjalanan FIFA. Pada Piala Dunia 2022 FIFA melarang Rusia berpartisipasi karena serangannya terhadap Ukraina. Namun terhadap Israel di Piala Dunia U-20, FIFA tidak bersikap demikian. Bahkan FIFA menutup mata terhadap aksi yang dilakukan Israel dengan menembakkan gas air mata dalam pertandingan sepak bola Palestina. Mengutip dari laman buddyku.com pada 6/4/2023 bahwa Presiden FIFA, Gianni Infantino, pernah menolak mencampuri masalah Israel dan Palestina. Medio 2016, Federasi Sepakbola Palestina (PFA) mengajukan protes kepada FIFA. Protes diajukan karena sebanyak enam klub Israel memilih bermarkas di wilayah Palestina, yakni Tepi Barat.
Kemudian tahun ini FIFA membatalkan Piala Dunia U-20 dengan salah satu alasannya yaitu Tragedi Kanjuruhan dimana 135 nyawa melayang, namun sanksi serupa tidak menyasar Israel sedikitpun karena setiap hari membunuh puluhan jiwa rakyat Palestina begitu saja. Watak penjajah dan teroris Israel bahkan digelar di hadapan FIFA dalam serangan mereka terhadap Palestina selama Ramadhan, namun FIFA bergeming.
Kita memahami bahwa FIFA yang berideologi Kapitalisme jelas menentang Rusia dengan mensanksinya karena Rusia berideologi Sosialisme. Terhadap Israel FIFA bersikap lunak, karena Israel adalah anak emas, kanker yang sengaja dipelihara Barat di jantung Jazirah Arab untuk memudahkan semua kepentingannya di Timur Tengah. Tanpa konsekuensi apapun atas tindakan kejahatannya Israel merasa bebas.
Tolak Israel
Jika kita masih menghormati diri kita sebagai manusia, cukuplah dengan modal tersebut kita menolak penjajah Israel. Karena untuk mengindera ketidakmanusiaan Israel cukup dengan memanusiakan diri kita sendiri. Secara politik negara kita tegak dengan sikap penentangan yang tegas pada penjajahan. Jadi upaya-upaya melihat Israel dari sisi-sisi yang berbeda dengan memisahkannya dari kemanusiaan dan politik adalah bentuk kemunafikan yang nyata.
Secara keimanan kita wajib tolak Israel, kafir harbi fi`lan yang jelas-jelas membantai saudara kita Muslim Palestina. Bahkan kita juga harus menolak siapa saja yang berdiri dibelakangnya melindungi Israel. Karena Israel bukanlah apa-apa jika tidak ada Barat dan Amerika di belakangnya. Negara-negara hipokrit yang selalu mempertanyakan dan mengawasi hak asasi manusia di negara lain tapi lupa melihat dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, patut dipertanyakan suara-suara yang masih mendukung Israel, bisa jadi orangnya tidak politis, tidak agamis dan bahkan bisa jadi tidak manusiawi. Jadi, kepentingan siapa yang dibela oleh orang-orang tersebut?