Ia mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah hadir, sehingga saat ini paling penting adalah melakukan sinergi mencari solusi. Sehingga pengajuan BPM dari Kabupaten/Kota, yang kemudian diajukan ke provisi dan kemudian ke ESDM.
“Saat ini penindakan PETI bentuknya adalah penindakan pidana, pasal 161, dengan denda maksimal 100 Milyar, dan hukuman maksimum 5 tahun,” sebutnya.
Disisi lain, Kasubdit Tipiter Ditreskrimsus Polda Aceh, AKBP Mulyadi, menjelaskan bahwa dalam hal penegakan hukum di bidang PETI tidak bisa bicara penegakan hukum semata, tapi harus dari hulu ke hilir.
Sebab, lanjut dia, kondisi ini melibatkan masyarakat, ekonomi, sehingga jika hanya melalui mekanisme hukum, maka tidak akan selesai, sebab semakin hari semakin menjamur sehingga harus kita pikirkan solusi secara bersama.
“Contoh di Meulaboh, di satu titik PETI di Pantai Cermin, ada ribuan orang bergantung hidup dengan bekerja di tambang ilegal. Jika hanya pihak kepolisian yang turun, jika dengan kekuatan kecil, bisa jadi akan membahayakan dari sisi keamanan aparat di lapangan,” jelas Mulyadi.
Mulyadi menerangkan, dalam penanganan PETI ini, tidak bisa hanya dengan penegakan hukum, tentu juga harus dengan upaya lain. Salah satu solusi bisa dilakukan dengan mendorong pemerintah daerah untuk mempermudah izin, atau para pelaku tambang membentuk satu BUMDES.
“Jika PETI ini berjalan terus-menerus, maka akan merugikan banyak pihak, sebab akan menciptakan kerusakan alam, tidak adanya reklamasi,” ungkap dia.
Sementara itu, Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, menyebutkan mengapa permasalahan tambang ilegal tidak pernah selesai di Tanah Rencong. Ia mengatakan, jika dilihat dari prosesnya, ini terjadi karena ada orang yang melakukan berbagai kegiatan tanpa tunduk pada aturan perundang-undangan.
Menurut dia, dalam penegakan hukum di bidang ini, harus dilihat dari hulu ke hilir, dan tidak setengah-setengah. Penegakannya tidak bisa hanya bersifat administratif. Selain penegakan hukum, juga adanya upaya untuk memperhatikan kehidupan masyarakat.
Ia melihat, saat ini pelaku tambang bukan orang miskin, tapi orang kaya. Dimana salah satu studi menyebutkan bahwa satu tambang butuh dana Rp 200 juta. Saat ini yang disasar adalah pelaku yang merupakan masyarakat pekerja, yang mencari nafkah, atau buruh yang didatangi dari luar oleh pemodal.
“Pelaku di hulu yaitu pemilik modal serta memiliki relasi yang kuat tidak pernah tersentuh penegakan hukum. Selain itu, jika dilakukan penegakan hukum, maka di wilayah tambang akan ada masalah baru yaitu masalah ekonomi, kriminalitas, dan pencurian,” jelasnya.
Askhalani menyampaikan, lokasi tambang PETI bisa digarap oleh masyarakat yang kemudian disebut tambang ilegal, dan bisa juga dilakukan oleh pemilik konsesi yang dilakukan di luar konsesi.
“Pemodal tambang ilegal di Aceh didominasi Cina Medan. Hasil studi gerak 2008-2012, aliran uang paling banyak dari Aceh Barat ke Medan, dari Medan menyuplai uang ke Aceh Barat sebagai modal,” tutup Askhal.[]