Berkali-kali Ditutup, Tambang Ilegal di Aceh Tetap Menjamur

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – Aceh Resource and Development (ARD) menggelar diskusi publik tentang “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tambang Ilegal di Aceh” yang berlangsung di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Senin (17/4/2023) sore.

Sekretaris Panitia Khusus (Pansus) Minerba DPRA, M Rizal Fahlevi Kirani, menyebutkan bahwa dalam hal penanganan tambang illegal dibutuhkan ketegasan dari penegak hukum dan kolaborasi dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ini.

ADVERTISEMENTS

Baca juga: Gugatan YLBHI Terhadap Pj Gubernur Achmad Marzuki Kandas di PTUN Jakarta

ADVERTISEMENTS

“Pemerintah harus hadir, misalnya saat ini marak adanya tambang di Geumpang dan berbagai wilayah lain, sehingga dibutuhkan kehadiran pemerintah dan hadirnya penegakan hukum, sehingga ada solusi ketika dilakukan pelarangan,” kata Falevi.

ADVERTISEMENTS

Ia mengatakan, pemerintah juga harus hadir untuk memikirkan bagaimana tambang illegal itu menjadi legal. Mekanismenya bisa dilakukan dengan membentuk koperasi hingga badan usaha.

ADVERTISEMENTS

Menurutnya, DPRA melihat ketidakseriusan Pemerintah Aceh dalam menertibkan pertambangan ilegal. Jika pemerintah tegas, dan memberikan solusi, tentu pihak keamanan tidak akan kesulitan dalam melakukan penegakan hukum.

ADVERTISEMENTS

Baca juga: Pemkab Aceh Besar Dukung Trade In LPG Subsidi ke Bright Gas Bagi ASN

“Misal ada tambang ilegal yang dimiliki pihak tertentu yang berpengaruh. Untuk saat ini, tambang legal saja susah diurus, apalagi yang ilegal. Kemudian juga adanya tumpang tindih lahan dan perizinan,” jelasnya.

Politikus Partai Nanggroe Aceh (PNA) ini menyampaikan, saat ini yang kaya dari bisnis tambang ilegal adalah cukong-cukong Cina serta pemasok pekerja dari Pulau Jawa. Sedangkan masyarakat hanya menjadi operator dan buruh, atau agen yang memasukkan eskavator, bukan yang mengelola dan mendapatkan profit atau benefit.

Ketua Komisi V DPRA ini juga menambahkan, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan bahwa kemiskinan tertinggi berada di Kabupaten Pidie, yakni di wilayah Geumpang. Sehingga kehadiran pertambangan ilegal di sana tidak memiliki dampak positif.

Baca juga: Penghujung Ramadan, Perbanyak Ibadah dan Doa kepada Allah

“Saat ini di Geumpang minimal 15 orang pekerja tambang ilegal meninggal tiap beberapa hari. Dalam hal ini Muspida dan semua pengambil kebijakan harus hadir, sehingga ada kedaulatan bagi rakyat,” ujar Falevi.

Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Kabid Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Khairil Basyar, mengakui semakin hari luasan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) semakin membesar, ini tidak hanya persoalan Aceh tapi juga nasional.

“Pemerintah telah hadir dalam penanganan kasus PETI ini. Sejak tahun 2014 telah dibuat Instruksi Gubernur tentang moratorium tambang, menghentikan peredaran merkuri ilegal dan lainnya,” ujar Khairil.

Selain itu, kata dia, adanya imbauan bersama yang melibatkan Gubernur, Kapolda, Kajati, Pangdam, dan Wali Nanggroe, yang dilakukan secara persuasif untuk meninggalkan pertambangan illegal tersebut.

Khairil menjelaskan, pada 2020 adanya Instruksi Gubernur yang meminta Bupati/Walikota untuk mengusulkan wilayah yang ada di kabupaten/kota sebagai wilayah calon BPM.

“Contoh kasus PT Woyla, selain PETI terjadi di kawasan PT Woyla, dan juga terjadi di kawasan hutan lindung, sehingga di wilayah seperti Geumpang, sebagian tidak bisa ditetapkan sebagai BPM,” tuturnya.

Ia menuturkan di Aceh Selatan kegiatan PETI ada di wilayah eksisting PT lain, begitu juga di Aceh Tengah, yang ada di wilayah PT Linge Mineral, kecuali di Aceh Jaya. Untuk kasus Aceh Jaya, sebelumnya pernah diusulkan oleh Bupati Azhar Abdurrahman, namun usulan ini tidak di approve oleh Pemerintah Pusat, sehingga saat ini wilayah Gunong Ujeun di Aceh Jaya tidak bisa ditetapkan sebagai BPM.

Dalam pengusulan wilayah BPM, hal itu harus diusulkan oleh Kabupaten/Kota, dimana pemerintah lokal harus melakukan eksplorasi, tidak adanya tumpang tindih, dan secara ekonomis layak. Selain itu, wilayah tambang sudah tidak lagi menggunakan alat berat, semuanya harus menggunakan peralatan konvensional.

Ia mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah hadir, sehingga saat ini paling penting adalah melakukan sinergi mencari solusi. Sehingga pengajuan BPM dari Kabupaten/Kota, yang kemudian diajukan ke provisi dan kemudian ke ESDM.

“Saat ini penindakan PETI bentuknya adalah penindakan pidana, pasal 161, dengan denda maksimal 100 Milyar, dan hukuman maksimum 5 tahun,” sebutnya.

Disisi lain, Kasubdit Tipiter Ditreskrimsus Polda Aceh, AKBP Mulyadi, menjelaskan bahwa dalam hal penegakan hukum di bidang PETI tidak bisa bicara penegakan hukum semata, tapi harus dari hulu ke hilir.

Sebab, lanjut dia, kondisi ini melibatkan masyarakat, ekonomi, sehingga jika hanya melalui mekanisme hukum, maka tidak akan selesai, sebab semakin hari semakin menjamur sehingga harus kita pikirkan solusi secara bersama.

“Contoh di Meulaboh, di satu titik PETI di Pantai Cermin, ada ribuan orang bergantung hidup dengan bekerja di tambang ilegal. Jika hanya pihak kepolisian yang turun, jika dengan kekuatan kecil, bisa jadi akan membahayakan dari sisi keamanan aparat di lapangan,” jelas Mulyadi.

Mulyadi menerangkan, dalam penanganan PETI ini, tidak bisa hanya dengan penegakan hukum, tentu juga harus dengan upaya lain. Salah satu solusi bisa dilakukan dengan mendorong pemerintah daerah untuk mempermudah izin, atau para pelaku tambang membentuk satu BUMDES.

“Jika PETI ini berjalan terus-menerus, maka akan merugikan banyak pihak, sebab akan menciptakan kerusakan alam, tidak adanya reklamasi,” ungkap dia.

Sementara itu, Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, menyebutkan mengapa permasalahan tambang ilegal tidak pernah selesai di Tanah Rencong. Ia mengatakan, jika dilihat dari prosesnya, ini terjadi karena ada orang yang melakukan berbagai kegiatan tanpa tunduk pada aturan perundang-undangan.

Menurut dia, dalam penegakan hukum di bidang ini, harus dilihat dari hulu ke hilir, dan tidak setengah-setengah. Penegakannya tidak bisa hanya bersifat administratif. Selain penegakan hukum, juga adanya upaya untuk memperhatikan kehidupan masyarakat.

Ia melihat, saat ini pelaku tambang bukan orang miskin, tapi orang kaya. Dimana salah satu studi menyebutkan bahwa satu tambang butuh dana Rp 200 juta. Saat ini yang disasar adalah pelaku yang merupakan masyarakat pekerja, yang mencari nafkah, atau buruh yang didatangi dari luar oleh pemodal.

“Pelaku di hulu yaitu pemilik modal serta memiliki relasi yang kuat tidak pernah tersentuh penegakan hukum. Selain itu, jika dilakukan penegakan hukum, maka di wilayah tambang akan ada masalah baru yaitu masalah ekonomi, kriminalitas, dan pencurian,” jelasnya.

Askhalani menyampaikan, lokasi tambang PETI bisa digarap oleh masyarakat yang kemudian disebut tambang ilegal, dan bisa juga dilakukan oleh pemilik konsesi yang dilakukan di luar konsesi.

“Pemodal tambang ilegal di Aceh didominasi Cina Medan. Hasil studi gerak 2008-2012, aliran uang paling banyak dari Aceh Barat ke Medan, dari Medan menyuplai uang ke Aceh Barat sebagai modal,” tutup Askhal.[]

Exit mobile version