SETELAH aksi penolakan oleh dokter dan nakes kini suara penolakan terhadap RUU Kesehatan kembali disuarakan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Mengutip laman merdeka.com yang tayang pada 26 Mei 2023 menyampaikan bahwa KSPI berencana unjuk rasa di 38 provinsi mulai 31 Mei 2023.
Menarik menyimak ungkapan Anggota Panitia Kerja (panja) RUU Kesehatan Edi Wuryanto, merespons kritik dari berbagai profesi tenaga kesehatan terhadap RUU Kesehatan. Edi memastikan sejumlah isu yang menjadi kritik seperti mutu SDM kesehatan, sistem pendidikan kesehatan terutama spesialis, dan perlindungan hukum kesehatan menjadi perhatian Komisi IX DPR RI.
“Kami di DPR mencoba melaksanakan tanggung jawab untuk menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya sebagaimana saya kutip dari laman hukumonline.com tayang pada 19/5/2023.
Ditengah beragam fakta yang tak terbantahkan mengenai liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan DPR masih percaya diri mengklaim bahwa RUU Kesehatan digodok demi kemaslahatan masyarakat. Jika memang demikian mengapa banyak tanya yang tak sanggup dijawab?
Misal saja soal kecenderungan penguasa terhadap kelompok pebisnis, ini terang benderang sekali. Katanya mendengar namun suara siapa yang didengar? Suara nakes dan dokter atau malah suara kapitalis? Ditengah badai penolakan RUU Kesehatan oleh semua organisasi profesi kemudian muncul 17 organisasi profesi baru yang dibina dan ditata langsung oleh petugas partai yang pasang badan mendukung RUU tersebut.
Senada dengan Edi, Anggota Panja RUU Kesehatan Irma Suryani Chaniago menambahkan RUU ini harus mashlahat untuk semua kalangan, tapi kok malah menghapus ketentuan minimal 5% (APBN) dan 10% (APBD) alokasi anggaran kesehatan? Ini yang katanya mau transformasi gimana ceritanya? Ataukah transformasi dimaksud penguasa adalah dengan menggelar karpet merah bagi tenaga kesehatan dan dokter asing? Wah, ini kemaslahatan untuk TKA dong?
Sementara soal organisasi profesi jelas akan kacau balau tersebab nantinya terdapat multistandar etika dan kompetensi, jelas ini jauh dari kemaslahatan baik bagi masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan maupun bagi dokter dan nakes. Bagaimana jika terjadi sengketa medis? Ataukah RUU ini memang ingin menjawab kebutuhan dokter dengan memproduksi massal dokter tanpa etika dan kompetensi?
Teramat gelap nasib organisasi profesi ke depan, yang jelas Daftar Identifikasi Masalah (DIM) RUU usulan penguasa definisi organisasi profesi, kolegium, konsil kedokteran dan nakes dihapuskan.
Namun diantara klaim-klaim penguasa yang bertolakbelakang dengan usulan mereka dalam DIM, hingga kini tak ada yang mampu menjawab dengan bijak, mengapa Prof Dr dr Zainal Muttaqin, Sp BS (K) dipecat? Siapa yang sanggup membayangkan drama demi drama yang melemahkan dunia kesehatan akan berlangsung rapi dan terjaga ketika Kementerian Kesehatan sesuai RUU Kesehatan menjadi institusi superbody mengatur aspek kesehatan negara ini dari hulu hingga hilir.
Untold Story
Terdapat banyak pertanyaan yang menyoal apa sih urgensinya RUU Kesehatan ini muncul bak siluman kemudian ditolak oleh nakes dan dokter namun tetap melaju? Untuk menjawab soalan ini sebenarnya mudah saja. Lihat ideologi negara, karena ideologi adalah akar yang kemudian menumbuhkan batang, daun, cabang, ranting berikut bunga dan buah. Jadi RUU Kesehatan ini adalah buah dari penerapan ideologi Kapitalisme di Indonesia.
Tapi Indonesia kan ideologinya Pancasila? Nah, itu masalahnya. Jika ideologinya benar demikian pasti RUU Kesehatan ini tidak akan muncul. Pancasila mencita-citakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, keadilan dan kemakmuran setidaknya tergambar dari murah dan mudahnya masyarakat mengakses layanan kesehatan.
Kenyataannya kan berbeda? Sekarang saja keberadaan layanan BPJS mengebiri hak-hak kesehatan masyarakat, konon pula jika RUU Kesehatan ini disahkan? Universitas asing, rumah sakit asing hingga nakes dan dokter asing akan melakukan pelayanan kesehatan, menjadikan pelayanan kesehatan semakin mewah dan tidak mampu dijangkau oleh rakyat.
Tidak bergemingnya para pendukung RUU Kesehatan memperjelas bahwa peta jalan negara ini tidak lagi berada pada track yang benar, karena bukan Pancasila yang menjadi asas penyelesaian problematika negara, justru petuah invisible hand Kapitalisme milik Adam Smith yang diterapkan setiap waktu. Negara harus berlepas tangan dari urusan pelayanan rakyat dengan menyerahkannya kepada pasar. Siapa pemilik pasar? Tentu saja para kapitalis.
Padahal pelayanan kesehatan termasuk juga pelayanan sosial merupakan ekspresi material hak-hak warga negara. Namun Kapitalisme yang serakah mengambil paksa fungsi negara sebagai tempat rakyat bernaung dan berlindung. Lebih naas lagi ketika kemudian negara menjadi sekadar regulator pengatur dan penghubung kepentingan kapitalis.
Pemaksaan RUU Kesehatan oleh penguasa semakin memperjelas bahwa Kapitalisme di negara ini telah sempurna menjadi neoliberalisme (penjajahan gaya baru). Neolib tidak memiliki porsi bagi subsidi layanan rakyat baik kesehatan maupun pendidikan. Subsidi layanan publik dasar dianggap inefisiensi.
Untuk jelasnya kita bisa melihat keberadaan BPJS dalam memberikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPJS Kesehatan menjadi satu-satunya lembaga finansial yang berhak menentukan regulasi tarif pelayanan dan premi yang harus diberikan. Pendanaan dari negara semakin minim dengan asumsi telah ada premi masyarakat yang disetor melalui BPJS.
Nah, dalam hal penggodokan RUU Kesehatan menggambarkan secara riil bagaimana kejahatan pasar bekerja. Meminjam bahasa John Perkin dalam bukunya “Confession of an Economic Hit Man, US, Read How You Want,” bahwa kejahatan pasar bekerja sebagai kejahatan korporatokrasi, yaitu jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara-cara korupsi, kolusi dan nepotisme dari negara dunia ketiga, dimana cara kerjanya mirip seperti mafia.
Neoliberalisme bekerja sebagaimana titah International Monetary Fund (IMF) dengan kesepakatan Letter of Intent yang menjadi panduan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan sosial ekonomi dengan penawaran abadi konsep palliative economics. Konsep ini dianggap sangat agung layaknya kitab suci yang isinya adalah ayat-ayat tentang liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Inilah sebab mengapa konsep ini sangat berbahaya dan menjadi ancaman serius bagi bangsa-bangsa di dunia.
Menggagas Kesehatan Islam
Berbeda dengan paradigma Kapitalisme yang menempatkan kesehatan dan layanan publik sebagai mesin industri dan komersialisasi, Islam memiliki paradigma yang khas, yaitu bahwa negara adalah institusi yang menyediakan dan menjamin terpenuhinya layanan publik dengan murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin, baik Muslim maupun non-Muslim.
Islam memberikan paradigma yang sangat manusiawi dengan menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan dasar masyarakat (community primary needs) disamping layanan pendidikan dan keamanan. Tidak ada diskriminasi dalam layanan dasar ini, selama yang bersangkutan berstatus warga negara maka ia layak memperoleh semua layanan tersebut.
Oleh sebab itu negara dalam pandangan Islam menyediakan semua sumber daya yang dibutuhkan bagi terselenggaranya layanan dasar tersebut. Sebab hal ini merupakan manifestasi dari perintah Allah SWT melalui lisan Rasulullah SAW;
“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Karenanya negara haram menyerahkan urusan pemenuhan layanan dasar publik kepada para pebisnis untuk diperdagangkan layaknya komoditas, apalagi diserahkan kepada pihak asing. Nah, jika kita merindukan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar yang telah dirampas para kapitalis akibat penerapan Kapitalisme, sejatinya gagasan kesehatan dengan paradigma Islam ini sangat layak untuk kita perjuangkan. []