Padahal, sistem perekonomian dengan basis kapitalisme yang diislamisasi ini malah menambah beban perekonomian yang sudah berjalan. Karena tidak akan bisa 100 persen menggerakkan perekonomian bangsa, mengingat tidak setiap orang memiliki uang untuk disimpan sebagai modal, dan tidak setiap orang bisa pinjam uang untuk modal karena keterbatasan akses misalnya. Di sisi lain, kekuasaan kapitalisme kian menghujam sementara Islam hanya berakhir dalam istilah perbankan syariah.
Menakar Kepentingan Lembaga Perbankan di Masa Mendatang
Kemudian jika kita kaitkan dengan kepentingan lembaga perbankan di masa mendatang, tentu kita akan bicara sebuah regulasi yang lebih baik dalam tatanan negara. Dimana regulasi adalah produk negara dalam rangka mengatur urusan rakyatnya agar berjalan lancar dan tidak ada hambatan. Dalam hal ini perekonomian. Maka, jelas kapitalisme yang menjadi pondasi lahirnya regulasi. Pemerintah kita lebih banyak hanya menggelar karpet merah bagi pengusaha sekaligus regulator kebijakan yang memudahkan para pengusaha itu bermain di negeri ini di berbagai sektor.
Perbankan dalam dunia kapitalisme memang ditanamkan kafir guna menyedot dana dari masyarakat, karena ketamakan mereka dalam mengeksploitasi kekayaan alam dan sumber-sumber ekonomi lainnya. Ada dua aktifitas utamanya pertama aktifitas Ribawi dan kedua aktifitas jasa perbankan seperti transfer uang dan penukaran mata uang, dimana bank akan mendapatkan jasa. Kehadiran bank syariah adalah untuk menghapus aktifitas bank konvensional pertama dan menggantinya dengan perdagangan (tijarah) dengan bentuk Mudharabah, murabahah dan masyarakat dalam bidang pertanian, industri, perdagangan dan sebagainya. Sedangkan aktifitas kedua, bank syariah pun melakukannya karena mubah.
Hanya saja, dalam praktiknya, banyak terjadi syubhat dalam aktifitas pertama, Rasulullah dengan tegas melarang adanya keraguan dalam sebuah aktifitas, “Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih) [HR. Tirmidzi, no. 2518; An-Nasa’i, no. 5714. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Dengan kata lain, dalam pandangan Islam yang kemudian melahirkan sistem ekonomi Islam, kegiatan perbankan ini tidak ada sekalipun berlabel syariat.
Bukan berarti kegiatan muamalah tidak diperbolehkan , tetap boleh hanya tidak lagi diperlukan bank. Negaralah yang akan mendorong syirkah yang sesuai syariat, sedangkan bagi yang tidak memiliki modal boleh datang kepada Baitul Mal untuk meminta. Yaitu dari pos Milkiyah ammah dan Milkiyah Daulah. Menurut Syeikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Muqadimah ad Dustur, juz II halaman 157 menjelaskan jasa perbankan yang meliputi transfer, penukaran mata uang, pencetakan Dinar dan dirham dan lainnya akan dilaksanakan oleh bank negara yang menjadi cabang Baitul mal.
Islam Mewujudkan ketahanan Ekonomi Tanpa Riba dan Syubhat
Allah SWT berfirman, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (Tafsir QS Al-Maidah: 50). Ayat ini bermakna, sebagai orang yang memeluk agama Islam, tidak boleh menjadikan agamanya hanya sekadar hiasan semata, melainkan sebagai way of life, pedoman dalam kehidupannya sehari-hari.
Kaum Muslim berkewajiban menerapkan syariat Kaffah namun bukan dalam bingkai sekulerisme, demokrasi atau lainnya. Akibatnya, Islam seoalah terkerat-kerat, seolah cukup Aceh Darusallam saja yang memiliki qonunnya, termasuk perbankannya. Tetapi menjadikan kalimat Allah SWT tegak dibumi mana saja yang dipijak manusia, sebab pada hakikatnya dunia dan seluruh alam semesta ini adalah milikNya, lantas mengapa kita bermaksiat dengan bersandar pada selain hukumNya?
Tak ada kemuliaan selain hidup dalam tata aturan syariat, dan tak ada solusi mewujudkan kesejahteraan hakiki tanpa syubhat selain dengan Islam. Wallahu a’lam bish showab.[]