JAKARTA – Program Doktor Hukum Fakultas Pasca Sarjana Universitas Borobudur menggelar Webinar dengan tema, Menyoal Perampasan Aset: Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset di Indonesia.
Kegiatan ini menghadirkan Hakim Agung Profesor Surya Jaya, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Reda Manthovani, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, Anggota DPR RI Trimedya Panjaitan SH dan Advokat Senior J Kamal Farza.
Acara diantar Direktur Program Doktor Hukum Fakultas Pasca Sarjana Universitas Borobudur, Prof Dr Faisal Santiago, dan dimoderatori Pakar Hukum Ahmad Redi, Senin (12/6/2023) siang.
Prof Surya Jaya mengatakan, bahwa soal perampasan asset bukan isu baru di dalam ranah hukum Indonesia. Sebelumnya, menurutnya sudah ada dalam Undang-undang Tipikor, terutama dalam pasal 32. 33, 34 dan 38C.
“Hanya saja perampasan asset harus ditempuh oleh penuntut umum melalui mekanisme hukum perdata, yang sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama,” kata Surya Jaya.
Berbicara mengenai RUU Perampasan Aset menurut Surya, ada dua titik krusial dalam RUU itu, pertama dalam hal recovery asset dan kedua, dalam hal pengelolaan asset-aset yang dirampas.
“Banyak asset yang dirampas menurun nilai jualnya dan akhirnya tidak menutup keugian keuangan negara atas tindakan korupsi,” paparnya.
Reda Manthovani mengatakan, dengan UU Tipikor dan UU TPPU pihak kejaksaan berhasil merampas asset koruptor mencapai 90 persen dari nilai kerugian negara. Reda menceritakan keberhasilan pihak kejaksaan dalam menangani perkara Asabri dan Jiwasraya, dengan tingkat pengembalian asset negara dengan jumlah signifikan.
Menurutnya, RUU Perampasan Aset pasti akan mendapatkan kecaman dari para aktivis hak asasi manusia, terutama dalam pengaturan mengenai perampasan asset tanpa pemidanaan.
“Akvis hak asasi manusia pasti akan meributkan soal ini,” jelas Reda.
Adokat Senior dan Pegiat Hak Asasi Manusia J Kamal Farza mengatakan, hukum atau kebijakan perampasan aset, melalui mekanisme hukum pidana hanya dapat dirampas jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah).
“Nah jika putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap, perampasan aset tidak dapat dieksekusi. Bahkan jika pun untuk perampasan aset yang tidak dapat dibuktikan secara sah asal-usul dari aset tersebut, perampasannya tidak dapat dibenarkan,” ujar dia.
Jika dikaitkan dengan HAM, menurut Alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala ini, Konstitusi kita Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 mengegaskan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Perampasan aset orang tersebut, ujar Kamal, dapat menimbulkan pertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), sebuah ketentuan yang menganggap seseorang yang menjalani proses pemidanaan tetap tidak bersalah sehingga harus dihormati hak-haknya sebagai warga negara sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya.
“Jadi, polanya menurut saya harus dirubah, jangan rampas dulu baru disidang, tetapi sidang dulu kalau terbukti baru rampas,” tegasnya. “Dalam prakteknya, sering kali majelis hakim tidak menguraikan dasar alasan serta alat bukti untuk mendukung keyakinannya dalam putusan perampasan aset. Hal ini, menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak bagi pihak ketiga yang beriktikad baik dalam suatu perkara,” ucapnya.
Selain menganjurkan revolusi mental aparat penegak hukum, Kamal juga menyarankan agar KPK kembali ke khitahnya, Sebagai alat Kontrol, untuk Pencegahan dan Penindakan Korupsi pada aparat penegak hukum.
“Semangat pemikiran awal pembentukan KPK, bukan untuk tangkap bupati dengan korupsi ratusan juta, tetapi untuk Pencegahan dan Penindakan Korupsi pada APH karena APH yang profesional baru dapat mendukung UU yang ekstrim ini,” ungkapnya.
Kamal Farza menyarankan DPR harus hati-hati dengan rencana UU ini, karena UU ini potensi melanggar konstitusi dan hak asasi manusia. Banyak pakar hukum sebenarnya, kata Kamal, menolak atau paling tidak menganjurkan berhati-hati dalam hal perampasan aset.
“Untuk melakukan perampasan aset, tidak boleh dbebankan kegiatan ini kepada Polisi dan Jaksa dengan struktur yang ada sebagai penyidik dan penuntut umum, sebaiknya harus dibentuk satu komisi nasional khusus untuk itu, Komisi Penyitaan Aset atau Komisi Perampasan Aset (KPA), dengan menyiapkan SDM yang handal dan berintegritas tinggi menjalankan revolusi mental secara konsiten, supaya dalam melakukan tindakannya tidak sewenang-wenang dan salah sasaran,” ujarnya.
Ahmad Sahroni mengatakan, rencana penerapan UU Perampasan Aset harus benar hati-hati. Jangan hanya berdasarkan subyektifitas, atau karena dendam semata. Penerapan pada apa yang dirampas harus dilakukan dengan teliti.
Karena ketika seorang pejabat, yang telah punya harta yang sudah esksis, dan tiba-tiba berperkara, ketika penerapan UU itu tanpa diteliti terlebih dahulu malah dirampas semua hartanya.
“Padahal, harta tersebut tidak ada kaitan dengan perkara yang tengah menimpanya. Hal itu kan tidak bisa dibenarkan, karena mlanggar hak dan kemanusiaan,” katanya.[]