KONTESTASI pemilihan Presiden (Pilpres) di depan mata. Hawa panasnya menyeruak kemana-mana, asapnya mengepul mengaburkan pandangan hingga kemudian api kebenaran muncul menerangi kegelapan. Sebagaimana Mahkamah Konstitusi (MK) telah memunculkan teka-teki dalam putusan-putusannya beberapa waktu silam. Diantara putusan itu menyebabkan MK dalam sorotan publik karena memperpanjang jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dan kawan-kawan. Disamping itu MK juga sedang berhitung waktu mengumumkan sistem pemilu 2024.
Menarik apabila kita mengaitkan panasnya hawa kontestasi Pilpres ini dengan apa yang disampaikan oleh dua profesor Harvard yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku mereka Bagaimana Demokrasi Mati. Keduanya sepakat bahwa pemilu sejatinya merupakan sebuah bentuk kemunduran demokrasi dimana lembaga pemerintah yang terbentuk dari hasil pemilu itu merupakan lembaga yang justru melemahkan dan menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Analisa ini sepenuhnya benar jika kita kaitkan dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di negeri ini. KPK merupakan buah reformasi diharapkan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Diawal kehadirannya KPK menjadi pemicu bagi lembaga-lembaga penegak hukum lain agar dapat memperbaiki integritas dan kualitasnya. Belakangan prestasi KPK ternyata menganggu sejumlah pihak sehingga secara perlahan lembaga tersebut mengalami pelemahan.
Dimulai dengan revisi UU KPK menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 yang meletakkan KPK di bawah rumpun eksekutif, hasil judicial review UUKPK yang dalam hal pengujiannya MK menganggap suara aspirasi masyarakat hanya merupakan bagian dari hak masyarakat untuk berpendapat, hingga 75 orang anggota KPK dengan kredibilitas yang baik dalam jabatannya dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan. Padahal tes wawasan kebangsaan ini juga patut dipertanyakan karena merupakan sebuah penyelundupan hukum dimana keberadaannya tidak diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019.
Setelahnya kita menyaksikan bahwa sukar bagi KPK untuk tetap independen dibawah rumpun eksekutif tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha sebagaimana yang saya kutip dari laman detik.com pada 11/6/2023, bahwa pada akhirnya anak kandung reformasi (KPK) digunakan untuk membunuh ibu kandungnya sendiri. Hal ini karena keberadaan KPK telah ditarik ke area politik, maka demokrasi akan berjalan sekadar sandiwara belaka, Indonesia akan jatuh ke dalam jurang Orde Oligarki.
Badut-Badut Politik Berbagi Peran
Para pakar Hukum Tata Negara bersuara keras mengkritik putusan MK yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK ditengah panasnya suasana politik menjelang Pilpres. Sinyal-sinyal politis semakin tampak ketika tokoh politik opposan diciduk sementara pelaku korupsi lainnya diabaikan. Rakyat menilai KPK telah digunakan sebagai alat gebuk politik demi mendukung kepentingan pihak tertentu.
Demokrasi ini memang tidak menggigit jika tidak dibumbui dengan aneka drama. Sebagaimana Menko Polhukam Mahfud MD menerangkan telah mempertimbangkan debat di kalangan akademisi, aktivis ketatanegaraan soal putusan masa jabatan dan batas usia pimpinan KPK. Pemerintah menilai putusan MK ini inkonsisten namun Mahfud menyebut pemerintah memutuskan tetap mengikuti putusan tersebut.
Begitulah, meski keberadaan pimpinan KPK saat ini bersinggungan dengan masalah etik, sementara kinerja dewan pengawasnya dipertanyakan skenario harus tetap dilanjutkan, Pilpres harus dimenangkan.
Padahal pergelaran demokrasi elektoral (pemilu) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan kenyamanan setiap warga negara. Namun pesta demokrasi pada realitasnya hanya berhenti sebagai alat legitimasi para pemimpin terpilih untuk meraih kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan. Cita-cita negara untuk berbangsa dan bernegara menjadi cek kosong saja.
Konflik Kepentingan
Terpilihnya kembali Hakim Konstitusi Anwar Usman sebagai Ketua MK periode 2021-2028 pada 15 Maret 2023 membuat kepercayaan terhadap MK dipertanyakan. Pasalnya yang bersangkutan adalah Ketua MK sekaligus ipar presiden. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manuisa Indonesia (PBHI) sempat membut petisi menuntut Anwar Usman mundur dari jabatannya pada Juni 2022.
Sementara Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari sebagaimana yang saya kutip dari laman tempo.co pada 18 Maret 2023 menyampaikan kekhawatirannya bahwa akan muncul konflik kepentingan nantinya dalam perjalanan Anwar menjalankan tugas. Menurutnya secara ketatanegaraan, pernikahan menimbulkan dampak ketatanegaraan. Penting bagi kita semua untuk memiliki peradilan konstitusi yang taat dengan nilai-nilai peradilan yang merdeka dari segala relasi kekuasaan.
Sebagaimana kita pahami bahwa dalam perkara pengujian undang-undang, Presiden merupakan pihak yang setara dengan DPR. Sama-sama pelaksana undang-undang. Semua kewenangan dan kewajiban MK bisa bersinggungan dengan presiden. Sementara Undang-undang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim harus mundur apabila memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa.
Disinilah konflik kepentingan terjadi, dimana potensi yang paling kentara adalah dalam perkara pemakzulan. Jika DPR memiliki dugaan kuat terjadi pelanggaran oleh presiden, MK wajib memberikan putusan. Sehingga mustahil menyebut pernikahan seorang Ketua MK dan adik presiden tidak memiliki potensi konflik kepentingan.
Kematian Demokrasi
Kembali ke buku dua profesor Harvard, Levitsky dan Ziblatt menjelaskan di awal bukunya bahwa kecenderungan kematian demokrasi tidak melulu karena proses kudeta militer yang inkonstitusional seperti di Argentina, Brazil, Ghana, Guatemala, Nigeria, Peru, Turki dan lain-lain semasa perang dingin. Ternyata demokrasi justru mati melalui seorang pemimpin otoriter yang mengikuti pemilu tersebab si penguasa telah membajak demokrasi dan mengubah corak menurut kehendak yang menguntungkan dirinya. Perkara ini bukan kaleng-kaleng, karena Hugo Chaves terpelosok ke jurang yang sama sebagaimana jatuhnya Adolf Hitler, Getullo Vargas dan Fujimora.
Begitulah demokrasi pada akhirnya berisi para pemain drama yang saling unjuk kebolehan dan bakat dalam mendalami perannya masing-masing. Rakyat hanya dibutuhkan untuk mendulang suara kemudian ditinggalkan. Toh memang dari awal kemunculannya demokrasi memang memiliki watak yang demikian.
Kepemimpinan Adalah Amanah
Berbeda dengan demokrasi Islam memandang kepemimpinan dan jabatan sebagai amanah yang harus dijaga dan ditunaikan sebagaimana mestinya. Ketika amanah ini diminta oleh Abu Dzar al-Ghifari dari Nabi SAW dengan tegas Rasulullah SAW menyatakan kepada Abu Dzar;
“Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, kehinaan dan penyesalan pada Hari Kiamat. Kecuali orang yang mengambilnya dengan sesungguhnya, dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dengan baik.”
Sementara kedudukan hakim menurut Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang digambarkan didalam hadits dari Buraidah RA bahwa Nabi SAW bersabda;
“Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga: yaitu pertama, seseorang yang menghukumi secara tidak benar padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka. Kedua, Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka, dan ketiga, seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi No. 1244).
Teruntuk para hakim MK dan para pejabat KPK yang kini menjadi sorotan, ingatlah bahwa segala sesuatu ada hisabnya ada balasannya. Jika tidak di dunia maka kelak kita akan memanennya di akhirat.[]