JAUH sebelum Freeport menggali bumi Papua menjadi kawah emas yang menganga, bangsa-bangsa penjajah Eropa seperti Portugis, Inggris, Belanda dan Spanyol telah tiba di Papua. Pada tahun 1528 M, Alvaro de Savedra, seorang pimpinan armada laut milik penjajah Spanyol menyusul para pendahulunya menjajaki daratan Papua kemudian menamai pulau tersebut dengan Papua Isla de Oro atau Island of Gold yang artinya pulau emas. Penyebutan Papua demikian telah menyihir semakin banyak bangsa penjajah Barat yang kemudian datang berbondong-bondong untuk memburu emas Papua.
Embrio Kapitalisme mulai bersemai pada abad ke-15 (1521M). Ekspedisi demi ekspedisi penjajahan tiba di Papua. Tercatat ada 140 ekspedisi dari beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Dari kolonialisasi klasik sampai ke kapitalisme liberal hingga ke neoliberalisme imperialis. Pada tahun 1623, Kapten Johan Carstensz, menemukan salju di daerah pegunungan, di tengah daratan Papua. Hasil temuan itu kemudian dinamanakan Puncak Carstenz Pyramide.
Beberapa abad kemudian pada tahun 1936, Antonie Hendrikus Colijin, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel melakukan ekspedisi ke Puncak Carstensz untuk membuktikan temuan gunung emas Carstensz. Hasil penemuan tersebut mereka tulis dalam sebuah laporan yang menarik minat geolog tambang Freeport bernama Worbes Wilson. Wilson pun segera menuju Papua dan kembali ke Amerika dengan sejumlah batu dari Ertsberg, kemudian mengalkulasi keuntungan yang melimpah dari penambangan gunung tersebut.
Penguasaan Freeport atas gunung emas Papua ditempuh melalui cara-cara kotor sebagaimana yang diceritakan dalam buku Greg Poulgrain, “Bayang-bayang Intervensi : Perang Siasat John F Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno (2017). Melalui operasi intelijen Dulles menyingkirkan Sukarno dan mendudukkan Soeharto sebagai presiden Indonesia pada 12 Maret 1967 (sebagaimana dikutip dari laman transisi.org pada 18 Maret 2020).
Sementara itu pada Tahun 1973, ide-ide liberal menguat dan menjadi mainstream global, terutama sejak negara-negara Timur Tengah melakukan embargo minyak terhadap Amerika atas dukungan pada Israel. World Bank, WTO maupun IMF berperan besar mendisain ulang sekaligus meluluhlantakkan ekonomi negara -negara berkembang melalui wacana neoliberal (penjajahan gaya baru). Dalam kaitannya dengan kebijakan ekonomi luar negeri, neoliberalisme memiliki hubungan erat dengan pembukaan pasar luar negeri dengan cara-cara politis, tekanan ekonomi, diplomasi bahkan intervensi militer.
Pembukaan pasar luar negeri ini merupakan langkah untuk menciptakan prinsip dasar yang mereka yakini, yakni perdagangan bebas. Untuk itu penghapusan tarif, globalisasi, pembentukan kawasan perdagangan yang bebas dari proteksi adalah propaganda wajib. Selanjutnya lembaga-lembaga internasional berperan aktif menekan pemerintah negara-negara berkembang seperti negara kita agar berlepas tangan dari urusan ekonomi, mengatur regulasi pro korporasi, menghapus subsidi, privatisasi (swastanisasi) sampai efisiensi korporasi melalui penghapusan hak-hak kolektif buruh.
Melalui tim ekonominya, yang dikenal sebagai Mafia Barkeley, Soeharto menancapkan kebijakan ekonomi pro Barat sejalan dengan Konsensus Washington yang merupakan visi baru Kapitalisme dengan bertumpu pada tiga pilar kebijakan; yaitu stabilitas makroekonomi, liberalisasi modal dan uang serta privatisasi.
Neoliberalisme mengembalikan bangsa ini ke dalam penjajahan. Soeharto berhasil menggabungkan tiga aspek penting kebijakan ekonominya yaitu akademisi dan teknokrat yang berhaluan Kapitalisme, birokrat yang berasal dari kalangan militer dan pihak asing sebagai penyandang dana berikut hutang luar negeri.
Kapan agenda-agenda neoliberalisme masuk ke Papua?
Agenda neoliberalisme Papua dimulai pada 10 Januari 1967 melalui penetapan Undang-undang Penamaman Modal Asing (UU PMA). Selanjutnya pada tanggal 7 April 1967, Soeharto menyerahkan 1,2 juta hektar tanah Papua kepada Freeport McMoran dan Rio Tinto. Rezim ini kemudian menambah perluasan wilayah tambang menjadi 2,5 juta hektare pada 1989 yang berlaku hingga tahun 2021. Menurut WALHI, lahan seluas itu merupakan tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak (Neoliberalisme Dalam Timbangan Ekonomi Islam, 2015).
Pada akhirnya keberadaan Freeport menjadi momok bagi negeri ini terutama bagi masyarakat Papua yang sangat menderita karenanya. Freeport telah merampas hak rakyat Papua, menimbulkan krisis ekonomi dan sosial, menghancurkan budaya, lingkungan bahkan menyalakan separatisme sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan.
Miris menyaksikan dengan kondisi hasil bumi dieksploitasi kemiskinan di Papua malah demikian ekstrim. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan penduduk miskin terjadi di hampir semua pulau pada September 2022. Entah menggunakan standar dan rasio apa, baru-baru ini Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Theofransus Litaay, berkomentar bahwa dalam kurun waktu 10 tahun prioritas pembangunan Papua yang dilakukan oleh Jokowi “banyak membawa perubahan dan keberhasilan bagi masyarakat paling Timur Indonesia itu” (cnnindonesia.com pada 11 Juni 2023).
Kenyataannya berbagai program yang diluncurkan seperti proyek pemerataan pendidikan, kesehatan, pengembangan pariwisata, perluasan areal pertanian dan insfrastruktur tidak mampu menyelesaikan problematika rakyat Papua. Proyek-proyek tersebut ibarat obat penenang, karena tidak tepat sasaran dan rawan dikuropsi.
Oleh sebab itu sungguh lucu jika Litaay menyebut bahwa Presiden telah memberikan arahan pembangunan Papua dengan sebuah sistem dan desain yang lebih efektif untuk menghasilkan lompatan kemajuan kesejahteraan bagi rakyat Papua dan Papua Barat. Lompatan dimaksud adalah dengan membangun daerah-daerah otonomi baru, padahal itu juga bukanlah penyelesaian, karena pemekaran sejatinya menciptakan elite-elite baru yang duduk dalam kekuasaan di daerah sementara masyarakat tetap tak tersentuh.
Papua negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa tidak membawa berkah bagi masyarakat setempat. Meski Freeport telah mengeruk gunung emasnya, meski eksplorasi minyak dari Teluk Bintuni terus beroperasi atau pun proyek ambisius Merauke Intergrated Food and Energi Estate (MIFEE) yang digadang sebagai solusi ketahanan pangan lokal tidak membawa kemajuan demikian pula dana otonomi khusus yang dikucurkan.
Papua mengalami eksploitasi lahir dan batin akibat arogansi kesewenangan korporasi lokal maupun internasional. Wajar kiranya jika aksi kekerasan di Papua cenderung meningkat di masa kepemimpinan Jokowi, ketidakadilan pasti melahirkan perlawanan. Selama kuku-kuku neoliberalisme tetap dibiarkan mencengkram Papua selamanya daerah tersebut tidak akan tenang.
Oleh sebab itu Papua membutuhkan pengelolaan sumber daya yang komprehensif, dalam hal ini sistem ekonomi Islam sangat tepat untuk dijadikan acuan. Hal ini karena di dalam persfektif Islam, sumber daya alam adalah milkiyah ammah, harta kepemilikan milik umum yang dikelola negara dimana hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat. Negara tidak akan menyerahkan kekayaan ini kepada swasta apalagi dijual kepada asing dalam bentuk investasi-investasi yang menipu. Sehingga dengan mekanisme ini kesejahteraan rakyat bukanlah sebatas ekspektasi namun menjadi sebuah keniscayaan.[]