Banda Aceh- Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta menggelar seminar kajian kepemilikan unsur pulau, di Gedung Museum Ruang Teater UIN Ar-raniry, Kota Banda Aceh, pada Rabu, (21/06/2023). Polemik klaim empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil antara Aceh dan Sumatra Utara (Sumut) menjadi pembahasan.
Bekerja sama dengan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Ar-Raniry seminar tersebut mengusung tema ‘Benang Merah Polemik Kepemilikan Wilayah Administrasi Provinsi Aceh: Mengurai Fakta, Merumuskan Solusi’.
Ketua Umum IMPAS Aceh-Jakarta, Nazarullah mengatakan, tujuan digelarnya seminar tersebut untuk membuka ruang diskusi mengenai perihal tata cara penamaan unsur rupa bumi pulau-pulau yang ada di Aceh. Termasuk kajian polemik kepemilikan empat pulau yang diprotes pemerintah Aceh yang sampai saat ini masih dalam proses pelurusan status wilayah administrasi kepemilikan empat pulau tersebut.
“Atas dasar tersebut IMPAS memandang perlu adanya dibuka ruang dialog oleh elemen pemerintah Aceh terkait posisi status kepemilikan administrasi pulau tersebut agar ke depannya tidak terjadi simpang siur informasi yang diterima khalayak publik,” kata Nazarullah.
Nazarullah mengatakan permasalahan empat pulau tersebut sudah terjadi sejak 2008. Ketika itu, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang terdiri dari Kemendagri, KKP, Dishidros TNI AL, Bakosurtanal, dan Pakar Toponimi melakukan pembakuan nama pulau dalam wilayah Sumut.
Rapat yang dilakukan pada 14-16 Mei 2008 di Kota Medan itu memverifikasi ada 213 pulau dalam wilayah Sumut, termasuk empat pulau yaitu Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Sementara itu, rapat verifikasi dan pembakuan nama pulau dalam wilayah Aceh baru digelar pada 20-22 November 2008 di Kota Banda Aceh. Hasil verifikasi menyebutkan, ada 260 pulau berada di wilayah Aceh.
Namun dari jumlah tersebut tidak mencatat Pulau Mangkir besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang masuk dalam wilayah.
Hasil verifikasi tersebut, dikatakan Nazarullah kemudian mendapatkan konfirmasi dari gubernur Aceh melalui surat Nomor 125/63033 Tanggal 4 November 2009, yang menyampaikan bahwa Aceh terdiri dari 260 Pulau.
Pada lampiran surat tersebut, terdapat perubahan nama empat pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar yang semula bernama Pulau Rangit Besar di koordinat 20 14’ 30” LU 970 25’ 32” BT, Pulau Mangkir Kecil yang semula bernama Pulau Rangit Kecil pada koordinat 20 14’ 35” LU 970 26’ 06” BT.
Kemudian Pulau Lipan yang semula bernama Pulau Malelo pada koordinat 20 15’ 20” LU 970 25’ 21”BT dan Keempat, Pulau Panjang koordinat 20 16’ 21” LU 970 24’ 42” BT.
Tidak hanya itu, dalam surat tersebut juga disebutkan bahwa hasil verifikasi tim nasional nama rupabumi di Kota Banda Aceh, terverifikasi 260 Pulau termasuk 4 Pulau Yaitu; Pulau Panjang, Pulau Rangit Besar, Pulau Rangit Kecil dan Pulau Malelo.
Selanjutnya, berdasarkan kajian data peta koordinat yang dihimpun IMPAS, Pemerintah Aceh diduga mengklaim empat pulau dalam Sumut, pada 2009.
Padahal pulau seperti Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang dikatakan Nazarullah, telah diverifikasi oleh tim nama rupabumi pada Mei 2008 di Kota Medan serta dilaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2012 dan 2017.
“Dengan menggunakan koordinat Pulau Panjang, Pulau Rangit Besar, Pulau Rangit Kecil dan Pulau Malelo,” jelas ketua IMPAS itu.
Hal ini menyebabkan Aceh disinyalir melakukan kesalahan administrasi sehingga menyebabkan terjadinya polemik di masyarakat alias pembodohan publik karena berdampak pada substansi surat dari gubernur Aceh.
Sebab pada saat itu surat tersebut mengkonfirmasi hasil verifikasi rupabumi yang salah dengan pencantuman tidak sesuai koordinat. Keadaan ini dikatakan Nazarullah, mengakibatkan dugaan ada indikasi Pemerintah Aceh secara keseluruhan melakukan kesalahan pengambilan kebijakan.
Pada 2012, pemerintah Aceh mendirikan satu unit monumen atau tugu prasasti, pelayanan publik berupa satu unit rumah singgah para nelayan dan satu unit mushala serta salah melakukan pencatatan aset.