BANDA ACEH – Menyikapi keluhan para warga khususnya pedagang di kota Banda Aceh terkait soal kenaikan pajak penjualan hingga mencapai angka 300%, menyebabkan para pedangan bak jatuh lalu tertimpa tangga pula. Demikian yang dirasakan warga kota Banda Aceh akhir-akhir ini. Hal ini disampaikan Ketua Harian DPD Barisan Pemuda Nusantara (BAPERA) Aceh, Zikrullah Ibna kepada HARIANACEH.co.id, Rabu (23/8/2023) di Banda Aceh.
“Masyarakat Kota Banda Aceh khususnya para pedagang (entrepreneurship) merasa tersakiti. Apalagi masyarakat kota Banda Aceh terlebih khusus. Masyarakat ujung-ujungnya juga harus menanggung beban pembelian dengan munculnya kenaikan pajak pejualan yang mencapai 300 persen itu,” ungkap Zikri sapaan akrabnya sehari-hari.
Menurut Zikri, jika Kota Banda Aceh adalah bagian dari Kota/Kabupaten yang berada di dalam koredor Provinsi Aceh, seharusnya Kota Banda Aceh juga harus belajar bagaimana menerapkan Hukum Islam yang menjadi bagian penerapan Syariat Islam.
“Aceh sudah diberikan kekhususan oleh Pemerintah Pusat untuk mengelola tatanan kehidupan masyarakatnya dengan disahkannya UUPA terkait penerapan Syariat Islam. Jadi ayo kita jalankan syariat islam dengan benar. Kalau dalam kontek hukum Islam, pola-pola yang dilakukan oleh Pemko Banda Aceh justru bertentangan sekali. Pajak (baca: dharibah, -red) sendiri dalam Islam adalah salah satu sumber pendapatan daerah/negara hanya sebagai solusi dalam keadaan darurat, yaitu dimana sumber pendapatan yang lain tidak dapat mencukupi kebutuhan kas daerah/negara akan tetapi jika kas daerah/negara sudah mencukupi maka pajak harus dihapus, begitu Hukum Islamnya, tolong belajar lagi lah,” sebut Zikri.
Zikri kemudian melanjutkan. Kata dia, soal respon atau klarifikasi Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Kota Banda Aceh M. Iqbal Rokan yang ia baca dari sebuah media online yang menyebutkan tentang pelaksanaan Qanun No. 7 tahun 2011 tentu itu juga tidak tepat karena Qanun No. 7 Tahun 2011 itu justru bukan mengacu kepada Hukum Islam, tapi mengacu kepada implementasi untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 dan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang didasari dari Undang-Undang Nomor 8 (Drt) Tahun 1956, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1983, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 , Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2007.
“Kesannya yang akan diterapkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Aceh adalah Hukum Islam, yaitu embel-embel yang namanya Qanun. Namun, setelah kita cermati, ujung-ujungnya Qanun No. 7 itu mengacu kepada dasar Undang-Undang No. 8 (Drt) Tahun 1956. Kalau begitu dasarnya ya berarti kita ini bukan sedang menjalankan Hukum Islam di Bumi Serambi Mekkah. Tolong kepada para tokoh agama, ulama untuk memberikan atensi khusus soal ini. Sayang masyarakat Aceh selalu dicekoki dengan istilah-istilah Qanun yang kesannya berdasarkan Hukum Islam,” urai Zikri.
Kemudian, sambung Zikri lagi. Pemko Banda Aceh melalui BPKK Banda Aceh mencoba membangun narasi dengan membolak-balikkan nalar masyarakat yang mendengarkan penjelasannya seperti ilustrasi misalnya segelas kopi dijual Rp. 10.000, maka total harga yang harus dibayar oleh penikmat kopi setelah dikenakan pajak adalah Rp. 11.000. Pajak Restoran sebesar Rp. 1000 tersebut dikutip oleh pengelola usaha dan kemudian harus dilaporkan secara mandiri (self assessment) kepada pemerintah untuk kemudian dilakukan penetapan dan disetorkan ke kas daerah.
“Pajak Daerah tidak mengurangi laba apalagi menambah beban operasional yang harus ditanggung Wajib Pajak, begitukan yang disampaikan Kepala BPKK di sebuah Media? Padahal, selama ini pengusaha warung kopi misalnya. Segelas kopi dijual seharga Rp. 10.000 tidak pernah membebankan pajak kepada Konsumennya, jadi jelas sekali kalau pedagang warung kopi terbebani dengan pajak penjualan yang sedang dipaksakan Pemko Banda Aceh. Anggaplah perihal pajak ini dijalankan, akhirnya yang lagi-lagi dibebankan ya konsumen artinya warga masyarakat,” timpalnya lagi.
Selanjutnya, kata Zikri. Sudah menjadi rahasia umum soal defisitnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota/Kabupaten Banda Aceh. Hal itu tercermin dari ugal-ugalannya pengelolaan keuangan Kota.
“Ketika sudah defisit saat dikelola secara ugalan-ugalan, lantas masyarakat yang harus dibebani. Inikan sangat bahaya. Dan gara-gara ini, berdampaklah akhirnya pada rusaknya tatanan kehidupan masyarakat hari-hari ini, baik itu pedagang, pengusaha dan lain-lainnya secara ekonomi. Jadi untuk itu saya melalui DPD BAPERA Aceh meminta kepada Pemko Banda Aceh dan Legislator untuk segera merevisi serta mengevaluasi kembali atau menghentikan terlebih dahulu penerapan Qanun No. 7 yang masih Subhat dari perspektif Hukum Islam,” tegas Ketua Harian DPD BAPERA Aceh itu.
Kemudian, sambung Zikri lagi saat berbincang-bincang Rabu sore dengan HARIANACEH.co.id. Kata dia, Pemko Banda Aceh seharusnya harus berpikir tajam, cerdas dan solutif tanpa harus menyusahkan masyarakat.
“Mereka para pengelola keuangan daerah khususnya Kota Banda Aceh digaji untuk mencari solusi, bukannya malah menambah masalah bagi masyarakatnya sendiri. Jangan sampai muncul dalam pikiran masyarakat, bahwa para pemangku kebijakan ini kerja tapi tidak punya perencanaan dalam pengelolaan keuangan daerah yang baik dan benar sesuai dengan yang diatur dalam Hukum Islam. Kalau tidak bisa melibatkan Substansi Hukum Islam yang benar sesuai Al-Quran dan Hadist, hentikan itu istilah-istilah syariah Islam,” tambah Zikri.
Dengan demikian, tambah Zikri lagi dalam bahasa Aceh yang ia sebutkan kepada HARIANACEH.co.id “Bek sampe meulinte yang meu-utang, Yah tuan yang payah baye!.”
“Jangan sampai menantu yang berutang, kemudian Mertua yang harus membayarnya,” sindir Zikri sambil senyum.
Kemudian, Zikri juga menyebutkan, saat pemerintah pusat sedang gencar-gencarnya mengangkat atau memberdayakan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), namun Pemerintah Kota Banda Aceh berbalik arah dengan menerapkan tarif kenaikan pajak.
“Pelaku UMKM itu sedang menjadi perhatian pemerintah pusat. Pusat sedang gencar-gencarnya berupaya mengangkat dan memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Belum apa-apa sudah dicekoki dengan Pajak, melambung tinggi pula pajaknya yang akan dikenakan, lalu bagaimana harus bangkit dari keterpurukan ekonomi dong?. Indonesia ini baru saja beranjak bangkit dari serbuan Covid-19 yang membuat ekonomi Bangsa ini babak belur, et tiba-tiba Pemko Banda Aceh bikin gebrakan aneh, susah rakyat dibuatnya. Silahkan baca Rilis yang dikeluarkan oleh Menko Bidang Perekenomian RI tentang ‘UMKM Menjadi Pilar Penting dalam Perekonomian Indonesia’ yang diterbitkan pada 5 Mei 2021 lalu. Nah, apalagi di Aceh, Aceh punya kekhususan yang belum dimiliki oleh Provinsi atau Kabupaten/Kota lainnya di Tanah Air ini yaitu terkait tentang penerapan Syariat Islam yang kaffah. Kalau sudah diberikan kekhususan itu, ya ayo kita gunakan Al-Quran dan Hadist sebagai dasar sumber dalam membuat Qanun. Sekali lagi saya berharap kepada Tokoh-Tokoh Agama, Ulama, Akedemisi, Mahasiswa, Rakyat Aceh untuk memberikan atensinya tentang hal ini,” ujar Zikri.
Zikri mengulangi penegasannya tentang Kaedah Hukum Islam terkait Pajak atau Dharibah dalam perspektif Islam.
“Pajak atau Dharibah adalah salah satu sumber pendapatan daerah hanya sebagai solusi dalam keadaan darurat, yaitu dimana sumber pendapatan yang lain tidak dapat mencukupi kebutuhan kas daerah akan tetapi jika kas daerah sudah mencukupi maka pajak harus dihapus. Kalau tujuan Pemko Banda Aceh akhirnya harus menerapkan kenaikan Pajak ini untuk menutup defisit APBK Kota Banda Aceh dan mau jujur menjelaskannya kepada Masyarakat, maka setidaknya Istimbat hukumnya adalah boleh, tapi itu tadi, harus jujur kepada masyarakat. Sejatinya kenaikan pajak itu itu sendiri harus berbanding lurus dengan fasilitas atau pelayanan yang diberikan, jangan malah fasilitas menurun lalu pajak naik, ini kan seperti kehilangan akal sehat cara berfikir. Kepada pihak terkait baik eksekutif maupun legislatif di Banda Aceh agar secepatnya mengevaluasi peraturan tersebut,” tutup Zikri mengakhiri percakapannya dengan HARIANACEH.co.id.[]