Pulau Rempang, Kepulauan Riau Meradang, pengosongan lahan memicu konflik terjadi antara aparat keamanan dengan rakyat. Anak-anak menjadi korban, berikut ada tiga warga yang ditangkap dan belum dibebaskan. Menanggapi hal itu, Presiden Joko Widodo menyebutkan penyebabnya adalah komunikasi yang kurang baik. Seharusnya warga setempat diajak bicara dan diberi solusi atas rencana pengembangan proyek Rempang Eco City oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam.
“Karena di sana sebenarnya sudah ada kesempatan bahwa warga akan diberi lahan 500 meter plus bangunan tipe 45, tetapi ini tidak dikomunikasikan dengan baik. Akhirnya menjadi masalah,” kata Jokowi (tempo.co, 12/9/2023).
Dikutip dari laman BP Batam, Rempang Eco City merupakan salah satu proyek yang terdaftar dalam Program Strategis Nasional 2023 yang pembangunannya diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang disahkan pada 28 Agustus. Proyek Rempang Eco City merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan Singapura dan Malaysia.
Proyek tersebut akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dengan target investasi mencapai Rp381 triliun pada 2080. PT MEG merupakan rekan BP Batam dan Pemkot Batam. Nantinya, perusahaan itu akan membantu pemerintah menarik investor asing dan lokal dalam pengembangan ekonomi di Pulau Rempang.
Untuk menggarap Rempang Eco City, PT MEG diberi lahan sekitar 17.000 hektare yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. Pemerintah juga menargetkan, pengembangan Rempang Eco City ini akan menyerap sekitar 306.000 tenaga kerja hingga 2080.
Rakyat Kembali Terusir, Kapitalisme Bergulir
Tanah sejatinya bukan sekadar tempat tinggal atau modal investasi yang nilainya akan selalu naik, namun tanya juga tempat kelahiran, manifesatasi sosial dan budaya yang sudah mengakar, sebagaimana proyek Rempang Eco City ini yang mengancam eksistensi 16 kampung adat Melayu yang ada di Pulau Rempang sejak 1834. Tentu bukan masalah ganti rugi semata yang bisa menyelesaikan persoalan, tapi bijak tidaknya pemerintah menjembatani konflik ini.
Proyek ini mengharuskan sekitar 7.500 warga setempat direlokasi. Kelemahan rakyat adalah ketidaktahuan mereka tentang kebijakan negeri ini khususnya undang-undang pertanahan. Fakta mereka memang telah lama menempati wilayah Rempang dan sekitarnya tak cukup menjadi bukti pembelaan mereka. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto bahwa lahan tinggal yang menjadi pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam.
Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam. Menurut dia, hampir 50 persen dari warganya menerima usulan yang telah disampaikan dan pemerintah menawarkan mencarikan tempat tinggal baru sekaligus menyiapkan Hak Guna Bangunan (HGB) pada lahan seluas 500 hektare yang lokasinya dekat dengan laut sehingga relokasi bisa disesuaikan dengan kehidupan Masyarakat, yakni sebagai nelayan. Sekaligus akan dibangun sarana untuk ibadah, pendidikan dan sarana kesehatan,” kata Hadi.
Untuk ini Kementerian ATR/BPN telah menggandeng Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membangun dermaga untuk para nelayan (tempo.co, 13/9/2023).
Lain Dulu Lain Sekarang
Tak pelak, masyarakat yang merasa prihatin dengan kondisi ini kembali melihat rekam jejak digital yang tak mungkin terhapus. Mengingat peristiwa perebutan tanah yang melibatkan rakyat dengan aparat, rakyat dengan korporasi atau perusahan bahkan hingga rakyat dengan pejabat seringkali terjadi di negeri ini.
Dilansir dari kompas.com, 3/5/2019, dikarenakan Presiden Joko Widodo mendapatkan banyak keluhan dari masyarakat setiap kali ke daerah, mengenai terjadinya sengketa lahan, baik antara rakyat dengan perusahaan swasta, rakyat dengan BUMN, maupun rakyat dengan pemerintah. Beliau mengancam pemerintah akan mencabut konsesi lahan milik swasta atau BUMN jika di lahan tersebut terjadi sengketa dengan masyarakat. “Saya pernah menyampaikan konsesi yang diberikan kepada swasta maupun kepada BUMN kalau di tengahnya ada desa ada kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di situ, kemudian mereka malah menjadi bagian dari konsesi itu, ya siapapun pemilik konsesi itu, berikan. Berikan kepada masyarakat kampung, desa,” kata Jokowi.
“Saya sampaikan, kalau yang diberi konsesi sulit-sulit, cabut konsesinya. Saya udah perintahkan ini cabut seluruh konsesinya. Tegas, tegas,” sambungnya. Jokowi menekankan, rasa keadilan dan kepastian hukum harus dinomorsatukan dalam persoalan sengketa lahan. Ia menilai masyarakat yang sudah lama tinggal di lahan itu lebih berhak atas tanah yang mereka tempati (kompas.com, 3/5/2019).
Namun ternyata, hanya berselang tiga tahun, tahun ini, kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari China ke tanah air ternyata membawa hasil komitmen investasi dari perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited senilai US$ 11,5 miliar atau setara Rp 175 triliun (asumsi kurs Rp 15.107 per US$). Bisa jadi presiden tidak akan menyangka dampaknya akan seperti sekarang, mengingat pemerintah telah menyiapkan skema penggantian rugi untuk rakyat. Nyatanya, rakyat menjadi tumbal. Investasi tetap berjalan, protes rakyat bak asap menghilang begitu tertiup angin.
Presiden justru menganggap Tiongkok merupakan mitra strategis bagi Indonesia. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia mengapresiasi dan menyambut baik rencana investasi yang akan dilakukan Xinyi Group. Komitmen investasi Xinyi ini dalam rangka mendukung hilirisasi industri kaca panel surya di Indonesia. Seia sekata, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menjelaskan rencana investasi Xinyi Group senilai US$ 11,6 miliar tersebut meliputi pengembangan ekosistem rantai pasok industri kaca serta industri kaca panel surya di Kawasan Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Menurut Bahlil investasi Xinyi Group ini merupakan bukti tingginya kepercayaan investor kepada Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Mengingat, Xinyi Group merupakan perusahaan pemain kaca terbesar di dunia. MoU dan perjanjian kerja sama itu akhirnya ditandatangani, dengan tujuan membangun ekosistem hilirisasi di Rempang, Kawasan Batam dengan rencana investasi sebesar US$ 11,6 miliar. Investasi ini untuk membangun kaca dan solar panel, serta akan memakai tenaga kerja Indonesia sekitar 35 ribu orang.
Saat pertemuan dan penandatanganan Nota Kesepahaman inilah dilaksanakan juga penandatanganan Memorandum of Agreement (MoA) antara Xinyi Group dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) dalam hal penyiapan lokasi dan kebutuhan pendukung lainnya di Pulau Rempang (cnbcindonesia.com, 29/7/2023).
Kapitalis Asas Manfaat, Pembiayaan oleh Investor Meringankan APBN
Tak bisa dipungkiri, nafsu syahwat meningkatkan daya saing dengan Singapura dan Malaysia hanyalah akal-akalan kapitalisme menjarah kekayaan alam sekaligus potensi yang ada di dalamnya. Sebenarnya untuk apa bersaing jika kesejahteraan rakyat yang seharusnya lebih utama malah terabaikan?
Investasi selalu dijadikan alat untuk pembiayaan pembangunan, jelas hal ini bisa sedikit mengurangi beban APBN yang sudah terlanjur morat-marit untuk pembiayaan infrastruktur yang lain yang juga sama dengan Rempang Eco City kelak, tak akan memenuhi kebutuhan pokok rakyat sebab tak berhubungan samasekali. Padahal, tak hanya rakyat yang dirugikan, namun alam pun ikut terseret, pembangunan dengan patung hukum kebolehan memanfaatkan hutan lindung ke depannya pasti akan merusakan ekosistem hutan dan habitatnya.
Hanya di alam demokrasi sajalah proyek ini bisa berjalan, bahkan semakin meluas ke berbagai wilayah di Indonesia ini atas nama peningkatan perekonomian dan strategi pembangunan nasional. Demokrasi melahirkan pemimpin yang pro pemilik modal kuat, hal itu disebabkan demokrasi adalah sistem politik berbiaya mahal. Untuk pencalonan gubernur atau anggota parlemen saja harus merogoh kocek lebih dari Rp40 miliar. Jelas tidak akan bisa satu kantong saja yang bisa memenuhinya, apalagi kantong pribadi. Namun wajib menggalang dana dari kantong-kantonh yang lain yang lebih tambun. Kantong para oligarki.
Politik demokrasi juga meniscayakan pengaturan ekonomi dengan sistem kapitalisme, yang memiliki mind set berdaya gunanya ekonomi dengan investasi. Bisa dipastikan , akan ada Rempang-Rempang yang lain, baik skala kecil maupun besar. Lantas, apakah kita akan berdiam diri?
Islam: Sistem Tandingan Kapitalisme
Dalam Islam, jelas apa yang dilakukan negara bertentangan dengan syariat. Dalam Islam ada pengaturan terkait kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, seperti lahan hunian, pertanian, ladang, kebun dan sebagainya. Kedua, lahan milik umum, seperti hutan, tambang dan sebagainya. Ketiga, lahan milik negara yaitu lahan yang tidak berpemilik dan yang di atasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan milik negara.
Dengan pembagian ini, terlarang bagi negara atau swasta untuk mengambil hak individu atau umum meski dilegalisasi oleh kebijakan negara. Hanya saja, untuk lahan-lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya wajib dihandle oleh negara, justru agar manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh umat.
Rasul saw. bersabda, “Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai (junnah). Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala, tapi jika ia memerintahkan yang selainnya, maka ia harus bertanggungjawab atasnya.” (HR Muslim). Dengan dalil ini tentu penguasa tak bisa seenaknya berganti kebijakan atau plin plan. Ia akan takut pembalasan di akhirat atas apa yang ia perbuat di dunia.
Realitasnya, ketika bukan Islam yang diterapkan, kian hari ketimpangan penguasaan lahan memang nampak kian lebar. Industrialisasi dan pembangunan yang masif dilakukan, membuat kepemilikan lahan, termasuk yang diklaim milik negara, dengan mudah beralih kepada para pemilik modal. Adapun rakyat yang lemah, cenderung tidak punya pilihan. Seberapa pun keras melakukan perlawanan, mereka akan kalah telak oleh kekuatan uang dan kekuasaan. Terlebih diperparah, adanya kuasa gelap para mafia yang anehnya tak pernah bisa disentuh oleh tangan penguasa.
Allah swt. berfirman yang artinya,”Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS al-Maidah: 50). Wallahu a’lam bish showab.[]