BANDA ACEH – Nama Jessica Wongso kembali jadi sorotan, setelah tayangnya film dokumenter netflix Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso. Membuat publik kembali penasaran dengan kasus tewasnya Wayang Mirna Salihin karena kopi sianida.
Dalam kasus yang menjeratnya, Jessica Wongso dituding meracuni Mirna dengan secangkir kopi Vietnam di Olivier Cafe, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Setelah itu, Jessica Kumala Wongso menjalani proses pengadilan dan divonis dengan hukuman 20 tahun penjara, namun keputusan ini disambut dengan reaksi yang beragam.
Seiring dengan tayangnya film tersebut, kembali menimbulkan kontroversi dan teka-teki di masyarakat mengenai kejelasan kasus pembunuhan Mirna.
Bahkan membuat opini di masyarakat berseliweran akan keraguan tentang proses peradilan Jessica Wongso menjadi terdakwa pembunuhan Mirna Salihin.
Menanggapi hal itu, Prof Eddy Hiariej selaku saksi ahli dalam sidang kasus Jessica pada 7 tahun lalu.
“Saya ingin mengatakan dalam kasus Jessica ini mengapa saya begitu yakin, saya pengalaman sebagai ahli di Pengadilan bukan satu dua kali, lebih dari 100 kali, saya ketika kasus Jessica itu berita acara pemeriksaan saya lebih dari 200 halaman,” ujarnya pada Catatan Demokrasi tvOne.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan dirinya membaca seluruh keterangan ahli, dan keterangan saksi.
“Bahkan saya melihat 9 CCTV dihadirkan untuk saya melihat dulu bahwa saya memberikan keterangan,” ujarnya.
Prof Eddy Hiariej juga menerangkan kalau untuk melihat seseorang bohong atau tidak, setidaknya ada dua metode yang bisa digunakan.
“Metode ada yang disebut dengan istilah metode psiko-fisiologis itu menggunakan lie detector, dan ada yang menggunakan Paralinguistik,” ujarnya.
Pada kesaksian Manager Cafe Olivier, Devi Siagian. Prof Eddy mengatakan kalau Jessica tampak berbohong jika merujuk menggunakan metode paralinguistik.
“Kesaksian Manager Olivier Cafe, begitu Mirna tergeletak dan ketika orang-orang itu datang, tahu apa pertanyaan Jessica? ‘kalian taruh apa di minumannya Mirna,’ itu alam bawah sadar, orang kan enggak berpikiran demikian,” terangnya.
“Berarti kan ada sesuatu, itu yang dikenal dalam metode paralinguistik dikenal dengan istilah reaksi negatif,” ungkapnya.
“Kemudian ketika bertemu dia mengatakan bahwa bukan saya pembunuh Mirna, itu reaksi negatif” tambahnya.
Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada ini pun memberikan contoh jika kacamatanya ketinggalan di kelas, kemudian besok ketika ia masuk lalu menanyakan keberadaan kacamatanya kepada mahasiswa-nya.
“Tiba-tiba ada mahasiswa yang berteriak,’bukan saya loh yang ngambil,’ itu berarti dia mengambil, itu namanya reaksi negatif,” imbuhnya.
“Jadi saya mengatakan kalau hal-hal begitu kalau kita mempelajari hukum pembuktian secara holistik, bagi saya itu terang benderang untuk menyatakan bahwa Jessica adalah pelaku,” tutupnya.
Sumber: Gelora