OPINI
OPINI

Putusan Mahkamah Konstitusi Layani Dinasti dan Oligarki

image_pdfimage_print

AKHIRNYA Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan syarat  Capres-Cawapres berusia  paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah. Gugatan tersebut disampaikan oleh seorang Mahasiswa Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbiru, dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023. Almas menyatakan dirinya tidak terhubung dengan Gibran namun ya sudahlah bagi rakyat Indonesia hal yang demikian baiknya disenyumkan saja.

ADVERTISEMENTS
Selamat Hari Guru Nasional

Respon rakyat memang sesantai itu, toh semua sudah diprediksi jauh-jauh hari. Bambang Pacul dalam Podcast Total Politik yang tayang pada 29 September 2023 sudah membocorkan semua drama ini. Makanya bisik-bisik Megawati dan Jokowi akan ribut setelah ini juga tidak berdasar. Lha, wong Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengonfirmasi bahwa Megawati tidak mengumpulkan elite PDI-P usai putusan itu dibacakan MK, Bu Mega santai-santai saja.

ADVERTISEMENTS
Kartu ATM di Rumah, Action Mobile di Tangan

Berbeda dengan Hakim Konstitusi, Saldi Isra yang menyampaikan kebingungannya. Baru kali ini ia mengalami peristiwa “aneh” yang “luar biasa” dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Padahal Saldi tak perlu seheran itu andai ia menyaksikan tayangan Bambang Pacul dalam mengurai drama gugatan batas usia Capres-Cawapres ini.

ADVERTISEMENTS
Bank Aceh Syariah Mengucapkan Selamat Hari Pahlawan 10 November 2024

Tak berlebihan memang jika masyarakat menyebut Mahkamah Konstitusi telah bertransformasi menjadi ‘Mahkamah Keluarga’ untuk melayani anggota Dinasti yang akan melaju dalam putaran Pilpres 2024. Putusan ini tak pelak menjadi karpet merah bagi Gibran Rakabuming, putra Presiden Joko Widodo, yang sebelumnya sudah santer terdengar bahwa Gibran mengincar posisi Cawapres.

Berita Lainnya:
Maraknya Kriminalisasi Guru, Bukti Lemahnya Perlindungan Negara

Inilah alam demokrasi yang hakiki, semua bisa diubah, semua bisa diatur. Sikap MK dengan keputusannya kali ini merupakan bentuk kohibitasi antara demokrasi dan oligarki. Kekuasaan harus terus dilanggengkan  untuk mengamankan kepentingan dinasti dan oligarki di sekelilingnya.

Oleh sebab itu cara-cara yang kasar dan instan pun ditempuh, malu dipinggirkan yang penting legalitas diperoleh urusan sah tak sah, menabrak hukum atau tidak, etis tak etis menjadi perkara nomor sekian.

Perilaku Politik Serigala

Perilaku saling telikung, khianat-mengkhianati, tak pandai berterima kasih, haus kekuasaan dan menghalalkan segala cara memang menjadi tren politik saat ini. Para aktor politik  menjalani perannya dengan semangat, cerdas namun licik dan penuh intrik. Kita saja rakyat yang menonton lakon mereka demikian lelah, muak dan apatis dengan masa depan negara ini.

Bagaimana kita bisa mempercayai pribadi-pribadi serigala ini akan menghantarkan kita pada kehidupan yang aman tentram dan sejahtera? Sementara saat ini saja rakyat sudah kurang menderita apalagi? Harga-harga pangan naik membumbung, kekeringan dan bencana mengintai setiap saat mulai dari karhutla hingga banjir. Konflik agraria terus terjadi disertai kekerasan oleh negara melalui pengerahan aparat. Sementara di level istana, elit politik saling serang, saling lapor KPK, sementara ketua KPK-nya sendiri dipertanyakan integritasnya. Siapa lagi yang bisa dipercaya? Mahkamah Konstitusi malah menjadi mahkamah kepentingan keluarga.

Berita Lainnya:
Bina(sakan) Judi

Tenang, tenang, tenang kita harus tenang. Ingat semua fakta ini adalah pilihan kita yang harus kita putuskan apakah akan kita tanggung tunai bersama segala keburukannya ataukah kita harus mencari alternatif lain yang akan mengangkat semua penderitaan ini.

Politik serigala yang ciamik namun culas adalah buah dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Para politikus serigala lahir dan tumbuh subur karena sistem demokrasi ini tidak bersandar pada keimanan. Demokrasi mencampakkan nilai-nilai Ilahiyah. Walhasil output yang dihasilkan ya para politikus yang tidak takut dosa dan gemar berkhianat. Terhadap dirinya sendiri dia khianat, terhadap teman seperjuangannya khianat bagaimana kita begitu lugu mengharapkan mereka akan bersikap amanah dan ikhlas untuk negara?

Apakah selama ini kita menyadari bahwa demokrasi menjadi alat untuk menjajah? Awalnya demokrasi memang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membuat aturan dan memilih pemimpin. Namun kenyataannya terdapat sekelompok kecil rakyat yang memiliki uang dan kekuasaan melakukan berbagai rekayasa termasuk mengatur urusan negara agar menjamin kepentingan mereka. Siapa segelintir orang ini? Merekalah oligarki.

1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya