“Tapi saya masih menolak (serahkan surat tanah). Kalau rumah ini saya serahkan, saya pindah ke mana?
Kebun sudah saya serahkan, sekarang sisa rumah ini satu-satunya,” ungkap Ronggo Warsito, satu dari 16 warga yang disurati BPN.
Rumah beton milik Ronggo hanya berjarak sekitar 500 meter dari titik nol IKN, masuk dalam areal KIPP.
Dia merupakan satu-satunya warga RT 10 Desa Bumi Harapan yang rumahnya terdekat dengan titik nol IKN.
Meski gugatan ditolak PN, pun berkali-kali didatangi petugas, Ronggo tak mau meninggalkan rumahnya.
“Sampai sekarang saya belum serahkan surat-suratnya (tanah). Saya tidak mau (serahkan). Saya mau tetap di dekat KIPP IKN,” tegas Ronggo.
Ronggo mau melepas rumahnya asal nilai ganti rugi di atas Rp 1 juta. Tapi, jika permintaan tersebut tak dikabulkan, Ia lebih memilih meminta lahan pengganti saja, daripada berupa uang.
“Kalau enggak saya minta lahan pengganti saja tapi di luar KIPP,” ungkap dia sambil mengisahkan sulitnya awal membangun rumah itu.
“Dulu saya bangun (rumah) ini setengah mati, di sini masih hutan, listrik tidak ada, air susah, jalan jelek, anak istri kena malaria, tapi kami bertahan.
Sekarang IKN datang suruh kami pergi, enggak mau saya,” kisah Ronggo.
Kepala BPN PPU, Ade Chandra Wijaya belum merespon saat dikonfirmasi Kompas.com melalui pesan singkat pun panggilan telepon.
Jawaban Otorita Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, Alimuddin juga tidak bisa menunjukan di mana letak lahan di kawasan IKN yang dialokasikan untuk Masyarakat saat dikonfirmasi Kompas.com.
“Saya tidak bisa menunjukan titiknya. Yang jelas di WP (wilayah perencanaan) IKN itu ada permukiman yang diperuntukan untuk masyarakat.
Ya, intinya Otorita tidak tutup mata. Kalau ada persoalan seperti itu (warga tersingkir) ya sampaikan,” ungkap dia.
Ketidakjelasan letak lahan pengganti maupun permukiman baru untuk merelokasi warga terdampak membuat warga yakin bahwa IKN menyingkirkan mereka.
Syara misalnya, ingin tetap tinggal di sekitar IKN. Dia mau pemerintah memberi kepastian lahan atau tempat penataan pemukiman baru bagi warga lokal.
“Ya, bikinkan juga kita lah rumah yang layak dekat IKN. Silahkan kami ditata, jangan diusir. Kami juga ada usaha, kami juga mau tinggal di sini,” keluh dia.
Hal serupa juga diinginkan Ronggo, Teguh, Asin, Rania, Thomy dan warga lainnya.
Asin bilang jika sedari awal pemerintah sudah menyiapkan lahan dan penataan warga sekitar, maka tak banyak warga pergi meninggakan kampungnya.
Ronggo menambahkan, selama proses pembebasan lahan warga terus dikebut, tapi pemerintah tak kunjung menyiapkan lahan pengganti atau tempat relokasi warga terdampak, maka semakin banyak warga di lingkar IKN tersingkir.
“Sebab makin banyak yang melepaskan (kehilangan) lahannya, maka semakin banyak pula warga angkat kaki (pindah),” pungkas dia.
Ganti Rugi Hanya Uang
Sedari awal pemerintah hanya menyiapkan uang sebagai bentuk ganti rugi lahan warga.
Hal itu terkonfirmasi dari Kabag Pemerintahan, Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setprov Kaltim, Imanudin yang juga sebagai Anggota Tim Persiapan Pengadaan Lahan IKN.
Imanudin mengakui bahwa sedari awal memang tidak disiapkan pilihan lain selain uang. Hal itu selain cepat dan praktis, kerja tim pengadaan juga dipacu target dan waktu yang singkat.
“Memang pilihan utama agar mudah, maka ganti uang yang pertama.
Lebih cepat proses dan pemberian negara itu dalam bentuk uang mudah, dari khas negara ke rekening warga, pembuktiannya pun lebih nyaman,” terang dia.
Merujuk ke Permen ATR, pemberian ganti kerugian uang dilakukan dalam waktu paling lama 17 hari.
Kemudian, tanah pengganti disediakan pemerintah paling lama 6 bulan.
Sementara, relokasi atau permukiman baru, paling lama satu tahun.
Penentuan lokasi tanah pengganti atau permukiman baru, harus didasarkan pada kesepakatan saat musyawarah bersama warga terdampak.
Pj Gubernur Kaltim, Akmal Malik mengaku baru mendengar informasi perihal warga kehilangan lahan.
Untuk itu, dirinya akan berkordinasi dengan Pemda PPU untuk menindaklanjuti hal tersebut.