Kisah Warga yang Tersisih Usai Lahannya Diambil Proyek IKN: Menikmati? Kami Ini Tersingkir

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Kisah Warga yang Tersisih Usai Lahannya Diambil Proyek IKN, "Menikmati? Kami Ini Tersingkir". Ilustrasi suasana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. FOTO/Net. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

image_pdfimage_print

BANDA ACEH – Berikut sejumlah kisah warga setempat yang tersisih setelah lahannya diambil proyek IKN Nusantara.

ADVERTISEMENTS
ad39

Proyek IKN Nusantara juga menyisakan kisah tentang warga-warga setempat yang harus kehilangan lahan dan rumahnya karena masuk kawasan Ibu Kota Negara yang baru di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur.

ADVERTISEMENTS

Sejumlah warga di Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU, Kaltim harus terdampak proyek IKN Nusantara hingga harus menyingkir dari tempatnya hidup dan menggantungkan hidupnya, sebagian masih menunggu giliran untuk tersingkir.

ADVERTISEMENTS

Warga lokal yang terdampak IKN Nusantara terpaksa menyingkir karena tidak ada ganti lahan, sementara uang ganti rugi untuk lahan mereka tidak cukup untuk mendapatkan lahan baru yang harganya sudah melonjak.

ADVERTISEMENTS

Ketika Pemerintah terus mengebut proyek pembangunan IKN Nusantara dengan mendatangkan investor, seremoni peletakan batu pertama, pembangunan gedung pemerintah, dan tower apartemen ASN, ada persoalan lahan yang menyangkut nasib warga lokal.

ADVERTISEMENTS

Seperti di Desa Bumi Harapan, Kabupaten PPU, di mana sekitar 10 kepala keluarga harus meninggalkan desanya setelah mendapat uang ganti rugi.

ADVERTISEMENTS

Mereka menjauh dari IKN. Ada yang pindah ke Penajam, Petung Kabupaten Paser yang berbatasan dengan PPU.

“Kami kayak enggak dihargai. Kami sebagai warga lokal seperti terbuang di sini.

Setelah kami diberi uang (ganti rugi), kami disuruh pergi, mau ke mana saja terserah,” kata Syarariyah (48), perempuan keturunan asli suku Paser ini seperti dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com.

Rumah yang dihuni keluarga Syara tepat di tepi jalan utama menuju lokasi proyek pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), tak begitu jauh dari titik nol IKN.

Setiap hari sejak pagi, kendaraan besar untuk proyek IKN berlalu lalang.

Saat mengantar anak sekolah pun diliputi rasa was-was.

Syara maklum, hal itu adalah dampak dari megaproyek IKN. Namun yang membuatnya berkecil hati, warga lokal yang tak diberi perhatian dan terkesan ingin menyingkirkan warga lokal.

Beberapa tetangga Syara di RT 10 sudah pergi meninggalkan kampungnya setelah lahan dan rumah dibebaskan pemerintah untuk IKN.

Ganti rugi yang diperoleh warga hanya berupa uang, tanpa diberi lahan baru atau pun relokasi.

Setelah terima uang ganti rugi yang nilainya jauh dari harga pasaran, mau tak mau warga pergi mencari lahan yang lebih murah.

“Itu bagian atas (rumah warga) sudah selesai semua pembayaran, mereka sudah pindah. Tinggal kami ini saja, ya kalau memang sesuai (harga ganti rugi) ya kita pindah,” ucap Syara.

Rumah semi permanen yang dibangun di atas lahan 700 meter persegi itu sudah dipatok Tim Pengadaan Tanah IKN oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten PPU sejak Februari 2022 lalu.

Rumah Syara dan tetangganya Rania (58) jadi batas Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN. Papan plang patok batas KIPP IKN dipatok di sela rumah kedua rumah itu.

Syara dan suaminya hanya tunggu giliran.

Setelah menerima bayaran, Syara dan suaminya bakal mengosongkan rumah dan angkat kaki meninggalkan desa itu juga.

Tapi keduanya berupaya agar dapat lahan baru di seputaran Sepaku, supaya tak terlalu jauh dari IKN.

Nasib serupa juga dialami dua tetangganya Rania dan Teguh Prasetyo.

Teguh belum memutuskan pindah ke mana. Dia masih mencari dan berharap bisa dapat lahan di sekitar IKN.

“Jadi orang-orang khususnya RT 10 ini sebagian sudah lari ke “hutan”, dalam artian menjauh dari IKN. Pemerintah bilang, kami menikmati IKN. Itu enggak mungkin. Ini jelas-jelas kami tersingkir,” ungkap Teguh sambil menyebut beberapa nama warga di RT 10 yang sudah pindah meninggalkan desa.

Banyak warga mencari lahan jauh dari IKN agar bisa memperoleh lahan yang pas di kantong. Pasalnya, lonjakan harga di IKN tak sebanding dengan nilai ganti rugi yang diberikan pemerintah.

“Harga tanah di sini sudah Rp 2-3 juta per meter. Sementara, warga dapat ganti rugi jauh di bawah itu. Ada loh dapat yang Rp 14.000 per meter,” keluh Teguh.

Pemukiman di RT 10 Desa Bumi Harapan merupakan wilayah terdekat dengan titik nol IKN.

Dari total 345,81 hektar wilayah desa ini, dinyatakan terdelianase KIPP IKN.

Di seberang jalan depan rumah Teguh, ada rumah Asin Sudarto.

Asin mengaku belum masuk daftar warga terdampak KIPP IKN karena posisi rumahnya belum disebut masuk delineasi IKN.

Tim Pengadaan Tanah IKN baru membereskan rumah-rumah barisan tetangganya di seberang jalan raya, deretan rumah Teguh, Syarariyah, Rania dan lainnya pada tahap awal pembebasan.

Setelah beres, Asin menduga barulah tim menyasar ke rumahnya beserta tetangga-tetangganya.

“Lebih jauh dari itu yang pasti permukiman warga di kawasan ini bakal dibersihkan semua karena dekat sekali, ini ring satu IKN,” kata Asin.

Belum lama ini, Asin melihat ada petugas pasang patok papan plang bertuliskan akan dibangun Rumah Dinas BIN/Polri.

Patok itu dipasang di depan rumahnya, di seberang jalan raya tak jauh dari rumah Teguh.

Teguh membenarkan patok papan plang itu ditanam sekitar 100 meter dari rumahnya.

Tapi, beberapa hari kemudian papan plang hilang.

Saat di lokasi Kompas.com, tak melihat papan plang itu.

Asin menyadari lambat laun warga sekitar ring satu IKN bakal tergusur semuanya. Sebab beberapa kali dia didatangi petugas desa maupun kecamatan minta chek surat tanah di rumahnya.

“Pernah sekali Satpol PP yang datang (minta chek surat tanah). Di rumah hanya ibu (istri) saya di luar kota. Ibu telepon, saya bilang jangan diberi tunggu saya pulang,” kisah dia.

Asin berharap pemerintah tak menggusur mereka, tapi dia sendiri juga tak yakin dengan harapan itu. Sebab warga lain satu per satu sudah pergi meninggalkan desa karena kehilangan rumah dan lahan.

Kepala Desa Bumi Harapan, Kastyiar mengaku belum mendapat laporan dari warganya di RT 10 sudah meninggalkan desa.

“Sampai saat ini mereka (warga) belum lapor ke desa, bahwa sudah pindah atau merencanakan pindah,” kata Kastyiar.

Tapi, bagi Kastyiar warga yang pindah meninggalkan desa bukan tersingkir karena IKN. Sebab sedari awal tahap sosialisasi sampai penyerahan hasil penilaian ganti rugi, warga selalu dilibatkan dan tidak ada paksaan sama sekali.

“Jadi keputusan pindah atau tidaknya merupakan keputusan pribadi. Mereka (warga RT 10) setuju secara sukarela, melepas rumah dan lahan untuk IKN. Jadi enggak ada bahasa tersingkir, itu menurut saya,” terang Kades.

Faktor Pemicu

Berbeda dengan Kades, Sekretaris Camat Sepaku Hendro Susilo mengakui, banyak warganya di sekitar IKN yang memilih pindah menjauh dari IKN karena kehilangan rumah dan lahan.

Tak hanya di Desa Bumi Harapan, kata dia, hal sama juga terjadi di Kelurahan Pemaluan.

Hendro menyebut, salah satu faktor utamanya karena pemerintah tak kunjung menyiapkan lahan pengganti atau pun tempat relokasi bagi warga terdampak.

Itu merujuk pada Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 19 Tahun 2021 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang memberi beragam pilihan ganti rugi.

Warga seharusnya bisa memilih bentuk ganti rugi berupa uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Masalahnya hingga saat ini warga tak pernah diberitahu di mana letak lahan pengganti atau permukiman kembali, jika memilih satu dari dua opsi itu.

“Karena itu (kehilangan lahan setelah dibebaskan) mungkin saja banyak yang pindah ke luar atau menjauh dari IKN (cari lahan baru),” kata Hendro.

Kendati demikian, Hendro menyakini warga yang pindah pasti punya perhitungan sendiri soal untung rugi.

Misal, kata dia, mungkin saja warga punya niat beli lahan murah yang letaknya jauh dari IKN, supaya sisa uangnya bisa disisikan buat simpanan.

Warga lain, Thomy Thomas mengaku pernah mendapat sosialisasi perihal beragam pilihan ganti rugi itu saat mereka dikumpulkan Tim Pengadaan IKN di kantor Kecamatan Sepaku.

Tapi, warga tidak pernah diberitahu di mana letak lahan itu.

“Ngomong saja, enggak ada lahan yang disiapkan. Buktinya sampai sekarang enggak ada lahan yang disiapkan buat relokasi warga. Mana lahannya? Enggak ada.

Kalau pemerintah siapkan lahan (pengganti), tidak mungkin warga pindah,” ungkap Thomy sedikit kesal.

Rumah Kosong

Empat kali Kompas.com mendatangi rumah Ketua RT 10 yang letaknya tak jauh dari rumah Asin dan Teguh selama dua hari berturut namun pintu rumah tersebut selalu tertutup. Rumah dalam keadaan kosong.

Penjaga kios sembako sebelah rumah RT menyebut Ketua RT 10 sudah pindah, namun dia tak tahu di mana lokasinya.

Pantauan lapangan, kurang dari 10 rumah tampak kosong. Mulai dari yang terdekat titik nol atau di sekitaran rumah Ketua RT 10 hingga ke sekitaran rumah Hamidah, nama yang disebutkan Teguh sebelumnya sebagai daftar pindah.

Rumah-rumah itu dipenuhi debu bagian dinding, halaman kotor penuh dedaunan kering seperti lama tak dibersihkan pemilik.

Warga setempat menyebut rumah-rumah itu telah ditinggalkan pemilik setelah diganti rugi. Selang satu rumah dari rumah kosong yang ditinggalkan Hamidah, jadi jalan masuk menuju proyek Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) KIPP IKN yang kini sedang dalam pengerjaan.

Hamidah (60) bersama anak dan dua cucunya telah mengosongkan rumah kayu ukuran kecil yang berdiri di atas 155 meter persegi itu sejak Maret 2023 lalu, setelah menerima uang ganti rugi senilai Rp 56 juta.

Saat ditemui Kompas.com Maret lalu, sebelum pindah menetap di Silkar, Kabupaten Paser berbatasan dengan PPU, Hamidah bilang tak punya pilihan mempertahankan rumah juga kebun, meski itu jadi satu-satunya sumber penghasilan.

Dia tak bisa baca tulis. Ikut arus saja. Sikap setuju melepas lahannya bergantung pada sikap kebanyakan orang. Tak jauh dari rumah kosong Hamidah, terdapat dua rumah lain dari beton dan kayu milik Thomy Thomas juga terancam dikosongkan dalam waktu dekat, karena masuk kawasan deliniase IKN.

Thomy sempat menolak nilai ganti rugi yang ditawarkan Tim Pengadaan Tanah IKN karena terlalu kecil. Bagi Thomy tak sebanding dengan lonjakan harga tanah di sekitar IKN yang mencapai Rp 2 – 3 juta per meter.

Thomy ingin pemerintah memberi harga pantas berkisar di atas Rp 1 juta per meter.

Faktanya harga ganti rugi yang diterima warga, berdasarkan penilaian Tim Appraisal masih jauh berkisar Rp 300.000 per meter tergantung kelengkapan surat tanah, letak, tanam tumbuh, bangunan dan sebagainya.

Bahkan ada warga yang dapat harga jauh dari pantas yakni Rp 14.000 per meter.

Kasus ini pernah disoroti Otorita IKN dan DPRD PPU karena menilai tak adil.

16 warga gugat Pada Desember 2022 lalu, saat pembebasan lahan tahap satu, pemerintah membereskan terdahulu lahan warga di Desa Bumi Harapan yang terdelineasi kawasan KIPP seluas 345,81 hektar dan Desa Bukit Raya 0,01 hektar.

Setelah itu, baru bergeser Kelurahan Pemaluan membebaskan sekitar 472,07 hektar yang terdelianse kawasan KIPP IKN.

Dari tiga desa terdekat dengan IKN ini, total lahan warga yang mesti dibebaskan pemerintah sebanyak 817,89 hektar atau 12 persen dari luas kawasan 6.671,55 hektar yang ditetapkan sebagai KIPP melalui UU IKN Nomor 3/2022.

Hamidah yang kini menetap di kabupaten sebelah, Thomy, Teguh, Syara dan beberapa warga lain di RT 10 masuk daftar pembebasan tahap satu.

Kemudian disusul 45 warga lagi pada tahap dua dan 62 warga pada tahap tiga.

Upaya konfirmasi dan perolehan data lahan warga yang telah maupun belum dibebaskan belum mendapat respon dari BPN PPU sebagai pelaksana teknis.

Sepanjang proses itu, pemerintah sudah membayar warga yang setuju, setelah itu mereka harus mengosongkan rumah.

Sementara, warga yang keberatan dengan nilai ganti rugi memilih bertahan.

Mereka enggan menyerahkan surat tanah meski bujuk rayu sampai intimidasi diterima. Gelombang protes perihal nilai ganti rugi itu, akhirnya bermuara di Pengadilan Negeri PPU.

Sebanyak 16 warga termasuk Thomy, Ronggo Warsito dkk melayangkan gugatan keberatan atas nilai ganti rugi yang diberikan Tim Apraisal. Mereka menilai harga itu tidak adil.

Tapi tak satu pun gugatan 16 warga itu dikabulkan majelis hakim alias ditolak seluruhnya.

Usai putusan PN ditolak, BPN PPU langsung menindaklanjuti melalui Surat Nomor AT.02,02/2222.64.09/PTP7/IX/2023 tertanggal 8 September 2023 kepada 16 warga tersebut.

Isi surat meminta 16 warga menyerahkan foto KTP, KK, surat kepemilikan tanah dan bukti pembayaran PBB tahun terbaru untuk divalidasi agar dilakukan pembayaran ganti rugi.

Setelah bayar mereka harus mengosongkan rumah.

Surat yang ditandatangani Kepala BPN PPU, Ade Chandra Wijaya juga sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah IKN itu juga ditujukan ke Camat Sepaku dan Kades Bumi Harapan.

“Tapi saya masih menolak (serahkan surat tanah). Kalau rumah ini saya serahkan, saya pindah ke mana?

Kebun sudah saya serahkan, sekarang sisa rumah ini satu-satunya,” ungkap Ronggo Warsito, satu dari 16 warga yang disurati BPN.

Rumah beton milik Ronggo hanya berjarak sekitar 500 meter dari titik nol IKN, masuk dalam areal KIPP.

Dia merupakan satu-satunya warga RT 10 Desa Bumi Harapan yang rumahnya terdekat dengan titik nol IKN.

Meski gugatan ditolak PN, pun berkali-kali didatangi petugas, Ronggo tak mau meninggalkan rumahnya.

“Sampai sekarang saya belum serahkan surat-suratnya (tanah). Saya tidak mau (serahkan). Saya mau tetap di dekat KIPP IKN,” tegas Ronggo.

Ronggo mau melepas rumahnya asal nilai ganti rugi di atas Rp 1 juta. Tapi, jika permintaan tersebut tak dikabulkan, Ia lebih memilih meminta lahan pengganti saja, daripada berupa uang.

“Kalau enggak saya minta lahan pengganti saja tapi di luar KIPP,” ungkap dia sambil mengisahkan sulitnya awal membangun rumah itu.

“Dulu saya bangun (rumah) ini setengah mati, di sini masih hutan, listrik tidak ada, air susah, jalan jelek, anak istri kena malaria, tapi kami bertahan.

Sekarang IKN datang suruh kami pergi, enggak mau saya,” kisah Ronggo.

Kepala BPN PPU, Ade Chandra Wijaya belum merespon saat dikonfirmasi Kompas.com melalui pesan singkat pun panggilan telepon.

Jawaban Otorita Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, Alimuddin juga tidak bisa menunjukan di mana letak lahan di kawasan IKN yang dialokasikan untuk Masyarakat saat dikonfirmasi Kompas.com.

“Saya tidak bisa menunjukan titiknya. Yang jelas di WP (wilayah perencanaan) IKN itu ada permukiman yang diperuntukan untuk masyarakat.

Ya, intinya Otorita tidak tutup mata. Kalau ada persoalan seperti itu (warga tersingkir) ya sampaikan,” ungkap dia.

Ketidakjelasan letak lahan pengganti maupun permukiman baru untuk merelokasi warga terdampak membuat warga yakin bahwa IKN menyingkirkan mereka.

Syara misalnya, ingin tetap tinggal di sekitar IKN. Dia mau pemerintah memberi kepastian lahan atau tempat penataan pemukiman baru bagi warga lokal.

“Ya, bikinkan juga kita lah rumah yang layak dekat IKN. Silahkan kami ditata, jangan diusir. Kami juga ada usaha, kami juga mau tinggal di sini,” keluh dia.

Hal serupa juga diinginkan Ronggo, Teguh, Asin, Rania, Thomy dan warga lainnya.

Asin bilang jika sedari awal pemerintah sudah menyiapkan lahan dan penataan warga sekitar, maka tak banyak warga pergi meninggakan kampungnya.

Ronggo menambahkan, selama proses pembebasan lahan warga terus dikebut, tapi pemerintah tak kunjung menyiapkan lahan pengganti atau tempat relokasi warga terdampak, maka semakin banyak warga di lingkar IKN tersingkir.

“Sebab makin banyak yang melepaskan (kehilangan) lahannya, maka semakin banyak pula warga angkat kaki (pindah),” pungkas dia.

Ganti Rugi Hanya Uang

Sedari awal pemerintah hanya menyiapkan uang sebagai bentuk ganti rugi lahan warga.

Hal itu terkonfirmasi dari Kabag Pemerintahan, Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setprov Kaltim, Imanudin yang juga sebagai Anggota Tim Persiapan Pengadaan Lahan IKN.

Imanudin mengakui bahwa sedari awal memang tidak disiapkan pilihan lain selain uang. Hal itu selain cepat dan praktis, kerja tim pengadaan juga dipacu target dan waktu yang singkat.

“Memang pilihan utama agar mudah, maka ganti uang yang pertama.

Lebih cepat proses dan pemberian negara itu dalam bentuk uang mudah, dari khas negara ke rekening warga, pembuktiannya pun lebih nyaman,” terang dia.

Merujuk ke Permen ATR, pemberian ganti kerugian uang dilakukan dalam waktu paling lama 17 hari.

Kemudian, tanah pengganti disediakan pemerintah paling lama 6 bulan.

Sementara, relokasi atau permukiman baru, paling lama satu tahun.

Penentuan lokasi tanah pengganti atau permukiman baru, harus didasarkan pada kesepakatan saat musyawarah bersama warga terdampak.

Pj Gubernur Kaltim, Akmal Malik mengaku baru mendengar informasi perihal warga kehilangan lahan.

Untuk itu, dirinya akan berkordinasi dengan Pemda PPU untuk menindaklanjuti hal tersebut.

“Yang jelas kami ingin IKN tetap tumbuh dengan desainnya yang sudah ada, warga dan daerah penyangga di sekitarnya pun ikut tumbuh dan berkembang,” ungkap dia.

Rektor Universitas Mulawarman Samarinda, Abdunnur meminta pemerintah daerah baik Pemkab PPU maupun Pemprov Kaltim segera mengambil langkah memfasilitasi atau menjembatani keresahan warga lokal di sekitar IKN dengan pihak Otorita IKN.

“Biar ada solusi. Kita tentu tidak ingin bahwa masyarakat yang ada di daerah IKN akhirnya terpinggirkan,” ungkap Abdunnur.

Exit mobile version